FIKIH, FILSAFAT, DAN TEOLOGI: KAJIAN TERHADAP PEMIKIRAN ABUL HUSAIN AL-BASHRI AL-MU'TAZILI

Pendahuluan

Sejalan dengan perkembangan zaman, ushul fikih yang pertama kali digagas oleh al-Syafi'i pada abad kedua Hijriyah selanjutnya mengalami perubahan yang cukup signifikan. Terutama dengan kehadiran dua teolog besar  Abu Bakar al-Baqilani (403 H.) dari Asy'ariyah dan Abdul Jabbar al-Hamdani (415 H.) dari Mu'tazilah. Kedua teolog tersebut mencoba menyadur teori ushul dengan logika-logika filsafat-teologi. Akhirnya banyak terma-terma yang sebetulnya menjadi obyek garapan teologi masuk ke dalam teori ushul fikih. Hal tersebut menjadikan satuan teori ushul semakin rumit dan jauh dari tujuan semula, yaitu sebagai panduan bagi para ahli fikih dalam melakukan istinbath hukum.

Oleh karena itu, pada masa berikutnya dilakukan rekonstruksi atau yang dikenal dengan babak baru dalam penulisan teori ushul. Upaya secara riil dilakukan oleh Abul Ma'ali al-Juwaini atau Imam Haramain (478 H.) dari Asy'ariyah dengan menuliskan kitab "al-Burhan fi Ushul al-Fiqh" dan Abul Husain al-Bashri (439 H.) dari Mu'tazilah dengan menuliskan kitab "al-Mu'tamad fi Ushul al-Fiqh" yang akan kita bedah pada kesempatan kali ini. Misi dari dua ushuliy (sebutan bagi seorang ahli ushul; red.) tersebut sama-sama ingin memurnikan kembali satuan-satuan teori ushul dari kontaminasi nalar teologi. Namun ayalnya nalar fikih yang dimiliki dua ushuliy ini masih terpengaruh kuat dengan basic teologi dari para pendahulu mereka.      

Artikel ini akan melintasi wacana teologi yang bersinggungan dengan ideologi Mu'tazilah, yang nantinya akan membuka mata untuk dapat mengamati lebih dekat pada konstruk ushul fikih dengan nalaritas fikih yang cukup cerdas dari seorang Abul Husain. Kemudian akan kita kenalkan biografi Sang imam secara singkat, karakteristik rancangan teori ushul Abul Husain, dan selanjutnya mencari tahu sejauh mana keterpengaruhan pemikiran Sang Imam terhadap pemikiran filsafat-teologi. Kita juga akan mencoba menakar keabsahan teori Abul Husain ini dalam perspektif para ushuliy Ahlussunnah. Dan, terakhir kami mencoba merepresentasikan gagasan-gagasan Sang imam yang sekiranya masih dibutuhkan dan patut untuk diangkat kembali pada dinamika pemikiran ushul dan fikih di masa kontemporer ini. Tiada daya dan upaya kecuali dari Allah Jalla wa ‘Alaa dan syafaat Rasul-Nya ‘Alaihi Shalatu wa Salam.                                             

  

Mu’tazilah dan Latar Belakang Pemikiran Ushul

Mu'tazilah adalah salah-satu sekte Islam yang muncul pada awal abad kedua Hijriyah. Sekte ini membawa ajaran teologi (akidah) yang lebih menonjolkan aspek rasionalitas. Kelahiran Mu'tazilah disebabkan oleh beda pemahaman antara seorang Tabi'in bernama Hasan al-Bashri dengan muridnya, bernama Washil ibn Atha' (80-131 H.). Yaitu mengenai hukum seseorang yang melakukan dosa besar dalam posisinya antara mukmin dan kafir.  Dari konflik tersebut akhirnya Washil diasingkan dari majelis pengajian Sang guru hingga ia mendirikan mejelis sendiri bersama orang-orang yang setuju dengan pendapatnya yang kemudian masyhur dengan julukan "Mu'tazilah".[1]   

Pada masa perkembangannya ketika kerajaan Islam sudah melakukan propaganda ke berbagai wilayah. Terjadilah akulturasi budaya antara etnis Arab  dan non-Arab dengan ragam ideologi yang mereka anut, terutama masuknya pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang dibawa oleh orang-orang Persia di daratan Iraq. Penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab pun marak dilakukan dan didukung sepenuhnya oleh pihak kerajaan semenjak al-Makmun berkuasa. Dari sinilah Mu’tazilah mengadopsi pemikiran-pemikiran filsafat Yunani hingga mempola arah pandang keagamaan mereka dengan nuansa filosofis. Mu’tazilah yang banyak bergelut dalam bidang filsafat-teologi ini hingga mampu menata pokok-pokok teologinya secara sempurna dengan narasi akal yang cukup cerdas di tangan dua tokohnya, yaitu; Abul Hudzail al-Alaf (235 H.) dan muridnya Ibrahim al-Nidham (231 H.).[2] Pokok-pokok teologi Mu’tazilah inilah yang selanjutnya disebut “Ushul al-Khamsah” (Lima Prinsip) dari sebelumnya yang berjumlah empat.[3] 

Dari ideologi rasionalis ini, adakah pengaruh terhadap pola pemikiran Mu’tazilah dalam masalah-masalah hukum fikih? Menurut mereka, dalil akal merupakan landasan paling mendasar dalam menentukan titik kebenaran. Pandangan semacam ini bukan berarti mereka menafikan dalil wahyu secara mutlak. Mu’tazilah memiliki kerangka berpikir teori hukum selayaknya sebagai sekte Islam yang menyerukan dua kalimat syahadat. Mereka bukan mengeneralisir nalar rasio sebagai pokok landasan, sementara serangkaian dalil-dalil wahyu hanya sebagai cabang. Akan tetapi, antara rasio dan dalil wahyu sama-sama saling mendukung dan mustahil terjadi kontradiksi di antara keduanya.[4] Dan, terhadap masalah-masalah hukum syariat pun mereka benar-benar lebih menjunjung tinggi.[5]

Oleh sebab itu, dalam teori istinbath hukum versi Mu’tazilah tetap mengakui dalil-dalil wahyu yang muttafaq 'alaih −seperti; al-Quran, Sunnah dan Ijma'. Bahkan mereka lebih cermat dalam menganalisa makna suatu hukum, yakni dari aspek gramatikal teks, kemudian menganalisa pada tataran konteks, yang pada akhirnya melahirkan sebuah kesimpulan hukum. Apabila terdapat kontradiksi antara rasio dan dalil wahyu, maka dari penafsiran dalil wahyu tersebut perlu ditafsirkan ulang hingga ditemukan makna yang sepadan antara wahyu dan rasio. Al-Qadli Abdul Jabbar dalam kitab "Fadl al-I'tizal wa Thabaqat al-Mu'tazilah"  (Keunggulan dan Periode Ulama Mu'tazilah) ia menyebutkan : “Dalil pertama adalah akal, sebab akal mampu membedakan antara baik atau buruk, dan dengan akal pula kita mengetahui bahwa al-Quran merupakan hujjah bagi kita, begitu halnya dengan al-Sunnah dan al-Ijma'. Tidak bisa diterima jika akal diletakkan pada urutan terakhir, bukan begitu....?!! Sebab Allah tidak akan menurunkan wahyu kecuali kepada makhluk yang berakal… Dan jika kita mengatakan : al-Quran adalah dalil pertama sebab menjadi standart kebenaran mutlak dari setiap apa yang dipikirkan oleh akal, seperti halnya (di dalam al-Quran) mengandung dalil-dalil untuk menegakkan hukum, maka tetap dengan menggunakan akal untuk dapat membedakan antara hukum-hukum Perbuatan Tuhan dengan hukum-hukum Perbuatan Manusia (yakni; antara hukum-hukum keimanan dengan  hukum-hukum syariat; red.), dan jika tidak menggunakan akal maka tidak dapat diketahui apa saja yang ditetapkan atau tidak ditetapkan di dalam hukum syariat, atau hal-hal apa sajakah yang terpuji dan apa sajakah yang tercela….?!”. [6]                  

Dapat kita ditarik pengertian, apabila kedudukan dalil rasio menurut Mu'tazilah lebih terkesan dominan daripada dalil wahyu, maka kaidah tersebut ditetapkan tanpa menghilangkan substansi wahyu sebagai sumber primer dalam syariat Islam. Pandangan ini yang sedikit menyulut kontradiksi antara Mu'tazilah dan Ahlussunnah. Namun dalam implementasinya kontradiksi tersebut hanya berlaku pada satu kasus hukum fikih saja, yaitu berupa keberlakuan perangkat hukum-hukum syariat bagi seseorang yang belum sampai baginya penyebaran dakwah Islam.[7] Sebagaimana masalah ini sangat jarang dan bahkan mustahil terjadi di masa sekarang, ketika Islam telah tersebar ke seluruh sentero dunia. Oleh sebab itu, menurut penulis tidak menjadi penghalang dalam mengembangkan pemikiran kaum bermadzhab untuk bersikap lebih progresif dengan membaca dan menelaah teori-teori hukum hasil formulasi madzhab rasional ini dengan rasa aman tanpa dibayangi rasa ketakutan sedikit pun.

Hal di atas juga didasarkan pada kemurnian corak pemikiran Mu’tazilah yang Islami dan jauh dari kontaminasi filsafat non-Islam yang berkembang kala itu. Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab "Shaun al-Manthiq wa al-Kalam 'an Fanniy al-Manthiq wa al-Kalam" (hal. 324 dan 333), ia menyebutkan bahwa secara teoritis terdapat perbedaan mencolok bahkan pertentangan antara logika filsafat Aritoteles dengan logika di dalam ilmu kalam (termasuk di dalamnya menyentuh masalah ushul istinbath) dari kalangan Islam. Sejak semula para ulama kita, baik dari kalangan Asy'ariyah, Mu'tazilah, Syi'ah, Karamiyah dan madzhab-madzhab lainnya, sama-sekali tidak menjiplak atau mengadopsi ide-ide filsafat Yunani ke dalam pemikiran ilmu-ilmu Islam kecuali semenjak abad kelima Hijriyah dan sesudahnya. Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam "al-Rad 'ala al-Manthiqiyyah" (hal. 14-15) dan Ibnu Qayyim dalam "Miftah Dar al-Sa'adah" (juz 1/ 167).[8]   

Dari kalangan Mu'tazilah juga turut andil mewrnai perkembangan dunia pemikiran ushul fikih. Dan bahkan disinyalir oleh sebagian ahli bahwa Mu’tazilah sudah memulai perumusan teori ushul fikih lebih dahulu daripada pengarang kitab "al-Risalah"; Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (150-204 H.). Sebagaimana Abu Hilal al-Askari dalam "al-Awa’il" dengan menukil riwayat dari al-Jahid menyatakan bahwa Washil ibn Atha’ (81-131 H.) adalah orang pertama yang telah berhasil menelorkan metodologi hukum ini. [9]   

Duagaan-dugaan semacam di atas bukan hanya dari kalngan Mu'tazilah tetapi seringkali dijustifikasi dari pihak-pihak lain. Seperti dari kalangan Hanafiyah mendakwakan bahwa metodologi ilmu ushul sudah terumuskan semenjak masa Abu Yusuf al-Kuffi (113-182 H.) ─salah seorang murid Abu Hanifah. Sementara menurut Syi'ah Imamiyah rumusan tersebut sebenarnya telah final di tangan Muhammad Bakir ibn Zainal Abidin (56-114 H.) dan putranya Ja'far Shodiq (80-148). Namun dalam narasi penulis dan mu'tabar dalam pandangan jumhur ulama berkenaan dengan satuan metodologi ilmu suhul secara menyeluruh baru terkodifikasi di tangan imam al-Syafi'i. Adapun pendakwaan lain mengenai hal itu dilatar-belakangi karena kesatuan metodologi ushul secara mendasar bukanlah hasil-hasil inovasi pribadi al-Syafi'i, melainkan anorasi dari segala praktek istinbath dan ijtihad yang telah berlangsung semenjak masa Rasul dan para mujtahid setelahnya.      

Di kalangan Mu’tazilah kodifikasi ushul fikih secara metodologis baru bermunculan selepas masa al-Syafi’i. Dari kalangan Mu’tazilah banyak menulis karya pada bidang ini, diantaranya;  Ibrahim al-Nidham (wafat 231 H.), karya; "al-Nakt" yang berisi bantahan pengangkatan Ijma' sebagai sumber hukum, termasuk Ijma' di masa Sahabat. Abu Ali al-Jubba'i (303 H.), karya; "Tafsir al-Qur'an" dan "Mutasyabih al-Qur'an". Abu Hasyim al-Jubba'i (324 H.), karya; "al-Jami' al-Kabir", "al-Abwab al-kabir", "al-Abwab al-Shaghir", dan "al-Ijtihad". Muhammad ibn Abdillah al-Barda'i (350 H.), karya; "al-Mursyad fi al-Fiqh", "al-Jami' fi al-Ushul", dan "al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Qur'an". Al-Qadli Abdul Jabbar al-Hamdani  (415 H.), karya; "al-'Amd fi Ushul al-Fiqh", "al-'Ahd fi Ushul al-Fiqh", dan dalam kitab "al-Mughniy" pada bab khusus yang bertajuk "Kitab al-Syar'iyyat" ia juga mengangkat terma ushul yang kita maksud.

Secara kemadzhaban kitab-kitab yang ditulis ulama Mu’tazilah sama-sama mengikuti alur pemikiran al-Syafi’i, kecuali satu dari lima orang di atas yang telah mampu berijtihad secara mandiri, yaitu : Muhammad ibn Abdillah al-Barda’i.[10] Perkembangan ilmu ushul pasca al-Syafi’i secara umum masih terkesaan stagnan dengan mengikuti gaya sistematika yang diusung oleh the founding father ilmu ushul fikih itu. Penulisannya hanya berputar pada anorasi (syarah wa hasyiyah) dan otokritik (naqd wa tahlil). Hingga lahirnya dua orang hakim muslim, yaitu:  al-Qali Abdul Jabbar dari kalangan Mu’tazilah dan al-Qadli Abu Bakar al-Baqilani dari kalangan Ahlussunnah, sebagaimana yang diketengahkan Badruddin al-Zarkasyi (794 H.) dalam "Bahr al-Muhith". Dari dua tokoh inilah mulai menampilkan gaya baru dalam penulisan ilmu ushul yang sering dikenal dalam sejarah ilmu sebagai “gerakan perumusan ulang ilmu ushul” dari model rumusan sebelumnya oleh al-Syafi’i.

Sejak masa ini terma ushul fikih berubah warna dari semula yang terbebas dari sentuhan logika-logika filosofis menjadi ushul fikih yang bernuansakan filosofis-teologis dalam terminologi Islam. Model inilah yang disebut dengan "Aliran Teologi" (Thariqah al-Mutakallimin atau al-Syafi'iyyah) yang banyak diikuti para ulama pengikut Syafi'iyah. Ciri khusus aliran ini adalah bergaya deduktif, yaitu menetapkan kaidah-kaidah ushuliyyah terlebih dahulu tanpa melihat dan memperhitungkan aspek furu’iyyah fiqhiyyah pada tradisi madzhab. Adapun sebab-sebab berubahnya wajah ilmu ushul ini diantaranya sebab mereka yang merekontruksi kebanyakan ialah tokoh-tokoh yang juga bergelut dalam pemikiran teologi, terutama keterlibatan Mu’tazilah sebagai madzhab rasionalis yang sumbangsinya patut diapresiasi. Di pihak lain, berkembang model terbalik dengan gaya induktif, yaitu berangkat dari bentuk-bentuk furu’iyyah fiqhiyyah pada tradisi madzhab kemudian ditelorkan ke dalam bentuk kaidah ushuliyyah. Model terakhir ini disebut "Aliran Yurisprudensi" (Thariqah Fuqaha’ atau Hanafiyyah). Aliran ini banyak dikembangkan di kalangan madzhab Hanafi yang dipelopori oleh salah seorang tokohnya yang bernama Abu Bakar Ahmad ibn Ali al-Jashshosh (370 H.).

Untuk teori ushul berbasis teologi yang disuguhkan oleh al-Hamdani dan al-Baqilani ternyata banyak terdapat bahasan-bahasan yang tumpang-tindih dengan satuan-satuan disiplin ilmu kalam yang tidak semstinya terbahas di dalam kesatuan ilmu ushul. Oleh sebab itu, generasi muda dari dua tokoh tersebut kemudian merevisi ulang dan berupaya menyuguhkan satuan-satuan teori ushul yang benar-benar dibutuhkan dalam kinerja penggalian hukum-hukum fikih. Dari pihak al-Hamdani direvisi oleh muridnya Abul Husain al-Bashri, sedangkan dari pihak al-Baqilani direvisi oleh Imam Haramain al-Juwaini.

 

Biografi Imam Abul Husain

Lengkapnya bernama Abul Husain Muhammad ibn Ali ibn Thayyib al-Thabari (wafat 436 H./1044 M.). Ia adalah tokoh ke-12 dari generasi ulama Mu'tazilah sebagaimana catatan al-Hakim Abul Sa'ad al-Jatsami. Para ahli sama-sama menganggukkan kepala dengan kecerdasan dan kepiawaian seorang ushuliy yang berdomisili di Baghdad ini dalam berdialektika ilmiah, terutama dalam berlogika dan bersilat lidah demi mempertahankan pemikiran-pemikiran Islam 'ala Mu'tazilah.

Abul Husain mendapat binaan intelektual dari Hilal ibn Muhammad, seorang putera dari saudara laki-laki pemikir legendaries Bashrah yang masyhur dengan julukan "Hilal al-Ra'yi", dan ia juga sempat berguru kepada Abdullah ibn 'Adiy al-Jurjani. Kematangan intelektual Abul Husain tertata di bawah bimbingan al-Qadli Abdul Jabbar al-Hamdani seorang rekonstruktor ilmu ushul yang telah kita singgung sebelumnya. Meskipun demikian seorang pemikir sejati tetap akan memaksimalkan olah-nalarnya tanpa harus terkungkung dalam tempurung fanatisme dan premordialisme yang kurang beralasan.

Sekalipun potensi intelektual Abul Husain banyak diperoleh dari pembesar Mu'tazilah, namun di benak pikirnya tetap menjungjung tinggi sikap kemandirian yang progresif.[11] Dari tiga ulama itulah Abul Husain membekali dirinya dalam bidang teologi dan mencapai kematangan hingga menulis beberapa kitab ilmu ushul dan ilmu kalam. Khathib al-Baghdadi di dalam Tarikh-nya mencatat beberapa karya Abul Husain diantaranya bertajuk; "al-Mu'tamad fi Ushul al-Fiqh" (Pedoman Teori Fikih Islam) yang terdiri dari dua jilid, "Gharar al-Adillah" (Dalil-Dalil Palsu) dalam satu jilid besar, "Syarah al-Ushul al-Khamsah" (Penjelasan Lima Prinsip Teologi Mu'tazilah), "Syarah Kitab al-'Amd", serta kitab tentang Khilafah Islam dan Ushuluddin.[12]

         

  1. D.    Kitab al-Mu'tamad fi Ushul al-Fiqh

Buah karya Abul Husain yang bertajuk "al-Mu'tamad fi Ushul Fiqh" merupakan buah karya yang menyuguhkan teori panduan dalam mengeluarkan hukum-hukum aplikatif atau yang disebut "fikih". Embrio teori ini diambil dari seorang hakim besar yang bermadzhab Mu'tazilah pada kekaisaran dinasti Abbasyiyah; al-Qadli Abdul Jabbar al-Hamdani dalam kitabnya yang berjudul "al-'Amd".

Karya monumental ini pada mulanya hilang bersamaan dengan lenyapnya jutaan manuskrip umat Islam pasca Perang Salib. Upaya pencarian manuskrip dan telaah oleh tiga orang akademisi Timur Tengah, yaitu; Muhammad Hamidullah, Muhammad Bakar dan Hasan Hanafi, program dari Institut Akademi Filologi Prancis di Damaskus akhirnya berhasil menerbitkan kitab ini di pasaran untuk pertama kalinya pada tahun 1964. Pada cetakan pertama Muhammad Hamidullah memberikan catatan pinggir berbahasa Prancis yang juga mengisahkan usaha penelitian mereka. Yaitu tercantum pada bagian akhir jilid kedua beserta bibliografi ayat-ayat al-Quran, riwayat-riwayat hadits, nama-nama tokoh dan wilayah.[13]    

Menurut Abul Husain, dari kitab al-'Amd karya al-Hamdani yang berisi teori-teori ushul dinilai masih kurang sistematis, alur bahasa yang diatmpilkan masih banyak bercampur-aduk dengan masalah-masalah teologi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ushul fikih. Dengan alasan itu, ia bermaksud merevisi ulang agar kitab tersebut layak disebut sebagai kitab ushul fikih dan tepat sasaran. Dalam mukadimah revisi ini Abul Husain menuliskan maksud dan tujuan penulisannya.[14]

Secara garis besar karakteristik dalam penulisan kitab al-Mu'tamad dapat kita rangkum pada poin-poin berikut ini:[15]

(a)    Mengikutkan metode kritik ilmiah pada tiap alur pembahasan yang ada.

(b)   Ada upaya untuk selalu mengkaitkan setiap topik dengan metode madzhabnya, terutama dominasi rasio yang bertolak dari masalah hasan (baik) dan qabih (buruk), serta terma kemaslahatan.

(c)    Banyak menyuguhkan ide-ide dan pernyataan-pernyataan yang cukup logis, terutama dengan menukil pernyataan-pernyataan al-Qadli Abdul Jabbar.

(d)   Seringkali menuliskan topik-topiknya dengan redaksi tanya-jawab, sebagaimana gaya redaksi yang sering dipergunakan oleh para teolog.

(e)    Selalu mengikut-sertakan dalil-dalil wahyu (al-Qur’an dan Sunnah) pada setiap pernyataan yang ada, baik yang pro maupun yang kontra secara seimbang, dengan kemandirian ijtihadnya walaupun seringkali bertentangan dengan paham Mu'tazilah sendiri.     

Dari buah karya Abul Husain ini banyak memberi pengaruh besar terhadap perkembangan dunia pemikiran Islam, baik di kalangan ahli fikih maupun para teolog. Bahkan beberapa ulama Sunni mengikuti jejak intelektual Abul Husain dalam menyuguhkan teori-teori ushul fikihnya, baik pada segi redaksionis maupun tematis. Dinataranya; seorang ushuliy dari madzhab Hambali yang bernama Abul Khuthab al-Kaludzani (514 H.) dalam menuliskan kitab "al-Tamhid fi Ushul al-Fiqh", ia banyak berkiblat pada pemikiran Abul Husain sekalipun tidak disebutkan secara redaksionis. Ada juga salah seorang ulama dari madzhab Hanafi yang bernama Abul 'Ala' al-Asmandi (552 H.) dalam menuliskan kitab "Badzal al-Nadhar fi al-Ushul". Seorang ahli ushul Hanafi ini banyak menerapkan metode yang diusung Abul Husain terutama masalah-masalah yang terkait dengan teori semantik, dan bukan pada bidang teologi.[16] Sedangkan dari madzhab Syafi'i, kehadiran Fakhruddin al-Razi dengan kitab "al-Mahshul" merupakan hasil kolaborasi dua kitab ushul, yaitu; kitab al-Mustashfa karya Abu Hamid al-Ghazali (505 H.), dan kitab al-Mu'tamad karya Abul Husain al-Bashri ini.[17]

Kitab al-Mu'tamad merupakan karya ilmiah hasil ijtihad Abul Husain yang mandiri. Sekalipun dasar berpikirnya ialah seorang Mu'tazilah. Tetapi gagasan-gagasan perihal konsep ushul banyak diperhitungkan di kalangan Sunni. Dari riwayat yang ada, Abul Husain tidak pernah sedikit pun mengadopsi pemikiran-pemikiran selain dari madzhabnya. Namun secara rinci kita akan menuju kepada beberapa topik bahasan yang seringkali menghantui pikiran kita terhadap ajaran Mu'tazilah yang di-black-up oleh banyak kalangan, dan untuk mengangkat kembali ke permukaan apabila memang dari gagasan-gagasan tersebut benar-benar terbebas dari pengaruh filsafat non-Islam dan present table di masa ini.    

 

Telaah Metodologi Istinbath Hukum Abul Husain al-Bashri

Sebagai disiplin ilmu hasil kreatifitas akal yang mandiri dan berdalih wahyu, ushul fikih menetapkan satuan-satuan metodologi penggalian hukum tanpa adanya unsur plagiat dari metode-metode filsafat non-Islam. Secara teoritis ushul fikih memiliki tiga komponen pembahasan, yaitu; (i) pembahasan mengenai sumber-sumber hukum, (ii) metode penggalian hukumnya, dan (iii) kreteria pelaku yang melangsungkan penggalian hukum tersebut. Sumber-sumber hukum yang dimaksud ialah berupa “wahyu” dan “realita”. Dalam artian, Islam memiliki dua sumber studi ilmiah, yaitu; “wahyu yang tertulis” dan “wahyu yang tidak tertulis”. Pada bagian sumber kedua tidak selamanya stagnan dan substansinya selalu mengalami perkembangan.

Secara aksioma, kedua varian di atas memberikan pengertian terhadap cara pandang setiap ushuliy dalam mengkonseptualisasikan teori-teorinya. Hal inilah yang menjadi tendensi mengapa ushul fikih disebut sebagai salah satu cabang disiplin ilmu, tercipta dari olah pikiran yang jernih dari seorang anak manusia.[18] Maka, ushul fikih sebagai panduan normatif ijtihad fikih akan terus mengalami perkembangan metode mengikuti irama perkembangan intelektual umat manusia.

Istinbath merupakan tata-cata atau metode dalam menggali dalil-dalil wahyu ─yaitu; al-Quran dan Sunnah─ untuk ditelorkan ke dalam bentuk hukum. Dalam kerangka metode ini Abul Husain membagi istinbath ke dalam dua bentuk, yaitu; (i) istinbath dalil-dalil wahyu, dan (ii) istinbath dalil-dalil akal.[19] Adapun segala cabang metode yang menginduk pada dua bentuk istinbath tersebut seluruhnya berpijak pada dalil-dalil wahyu, baik secara tekstual atau berupa intepretasi makna-makna yang terkandung di dalamnya.

Dalam satuan metodo istinbath dalil wahyu Abul Husain meletakkan metode Dilalah al-Nushush (Teori Semantik) beserta perangkat-perangkatnya pada urutan pertama, sebab dari metode ini akan mampu mengungkap makna-makna syariat secara mendasar. Kemudian disusul dengan pembahasan Af'al al-Rasul (Sunnah Rasul) sebelum bahasan Nasakh-Mansukh (Penghapusan Teks-Teks Hukum), sebab Af'al al-Rasul merupakan pijakan untuk menyelidiki Nasakh-Mansukh. Selanjutnya baru mengulas masalah Ijma' (Konsensus Ulama) karena eksistensi dalil ini berdiri di atas dalil-dalil sebelumnya. Setelah itu membahas masalah Ijhihad Akal yang menurut Abul Husain dipersamakan dengan Qiyas (Analogi), dan kaidah-kaidah Istidlal (Kaidah-Kaidah Umum Syariat Islam Tanpa Perincian Dalil) diletakkannya pada urutan terakhir.[20]          

 

1. Dilalah al-Nushush (Teori Semantik Teks-Teks Wahyu)  

 

Teori semantik atau telaah kebahasaan memiliki peran penting dalam upaya penggalian hukum dari teks-teks sumber hukum yang pertama. Al-Quran yang diturunkan dengan dialektika bahasa Arab menuntut para ushuliyyin untuk mengkaji lebih dalam gramatikal bahasa tersebut, bahkan usaha yang dilakukan lebih jelih daripada seorang nuhat (ahli nahwu). Jika seorang nuhat berbicara tentang pembentukan suku kata, susunan kalimat dan syarat-syarat yang berlaku agar kalimat tersebut dapat mengandung sebuah makna, maka seorang ushuliy akan lebih menyentuh aspek esensial dari hal-hal yang diperbincangkan seorang nuhat tersebut.[21] Dalam ushul fikih akan membahas teori ini pada bentuknya secara global, bukan dalam bentuk parsial.[22] Tujuannya adalah untuk mengantarkan seorang mustanbith (orang yang melakukan penggalian hukum) untuk menafsirkan makna dan mengeluarkan isi kandungan hukumnya.

Dalam hal ini Abul Husain sebagai seorang Mu’tazilah tetaplah dengan ideologi asalnya. Namun, bagaimana ia mendudukkan sebuah teks wahyu di sisi lain ia lebih mendahulukan rasio sebagai sumber kebenaran? Dr. Nashr Hamid Abu Zayd dalam telaah "Tafsir al-Quran versi Mu'tazilah"mengurai-jelaskan : mendahulukan rasio daripada wahyu dalam ideologi Mu'tazilah bukan berarti memposisikan rasio sebagai standart kebenaran yang tunggal hingga menomor-duakan wahyu, bukan pula memungkinkan akan terjadi kontradiksi antara keduanya, melainkan antara rasio dan wahyu sama-sama berjalan seimbang dan bersesuaian. Dari segala apa yang datang dari al-Quran tidak akan bertentangan dengan akal manusia, sebab al-Quran diperuntukkan kepada umat manusia. Oleh karena itu, dari dalil-dalil al-Quran seluruhnya dapat diterima oleh rasio baik dengan gaya bahasa "biasa" (haqiqiy) ataupun "perumpamaan" (majazi). [23]

Dengan hal tersebut, maka untuk memahami dan memetakkan metode istinbath kelompok ini berpijak pada dua aspek, yaitu; (i) aspek insting kemanusiaan dengan memerankan rasio, dan (ii) aspek tekstual berupa linguistik Arab.[24] Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa Mu'tazilah menjadikan akal dominan dan bentuk gramatikal wahyu sebagai penegasan yang dalam intepretasinya masih dapat dikembangkan lagi. Secara rinci metodo istinbath Abul Husain adalah sebagai berikut:

(i) Teks Ditinjau dari Aspek Substansial. Dalam hal ini teks terbagi menjadi dua bentuk, yaitu; pertama, teks dapat dipahami secara langsung dari bentuk gramatikalnya tanpa membutuhkan penjelasan dari unsur penunjang. Kedua, teks belum dapat dipahami secara langsung dan membutuhkan penjelasan dari unsur penunjang. Teks bentuk pertama diistilahkan Abul Husain sebagai "teks hakiki" dan teks bentuk kedua diistilahkan sebagai "teks majazi".[25] Untuk teks hakiki menurut asal penciptaannya berasal dari tiga ruang lingkup, yaitu;  bahasa (lughawiyyah), tradisi ('urfiyyah), dan syariat (syar'iyyah)[26]. Bagi seorang mustanbith hendaknya jelih dalam mencermati ketiga jenis teks hakiki ini, agar penafsiran dari pernyataan teks ayat-ayat al-Quran atau hadits benar-benar sesuai dengan tujuan maknanya. Sebab sebuah kosa-kata dapat dipahami berbeda menurut ketiga ruang lingkup tersebut. Seperti kata ( الصلاة )[27] dan kata ( الدابة )[28]  Sedangkan teks majazi dalam hemat Abul Husain benar-benar terdapat di dalam al-Quran sebagaimana pendapat jumhur ulama Ahlussunnah.[29]  Dari teks model ini seorang mustanbith tidak harus terpaku pada bentuknya secara tekstual, tetapi membutuhkan penunjang dari aspek eksternal sehingga teks dapat dipahami dengan benar menurut pengertian syariat.[30] Misalnya teks pada ayat 82 dari surat Yusuf: ( ؤسئل القلرية ...) , jika teks ini dipahami secara tekstual maka artinya "desa akan bertanya…", sangatlah jauh dari kebenaran syariat kecuali dipahami dalam bentuknya yang majazi bahwa lafal ( القرية ) atau "desa" adalah bermakna "penduduk desa".[31]

(ii) Teks Ditinjau dari Aspek Muatan Makna. Teks dalam tinjauan ini terbagi menjadi empat macam, yaitu; teks umum ( العموم ), teks khusus ( الخصوص ), teks global ( المجمل ), dan teks mutlak ( المطلق ). Dari dua jenis pertama, yaitu teks umum dan teks khusus, menjadi perhatian besar para ushuliy dan banyak memunculkan kontradiksi antara satu dan lainnya, sebab keberadaan Khabar Ahad dan Qiyas menjadi polemik besar tatkala kedua dalil tersebut berhadapan dengan teks-teks yang masih bersifat umum. Sedangkan dua jenis terakhir, yaitu teks global dan teks mutlak, ialah berfaedah untuk mendapatkan kepastian hukum terutama atas batasan-batasan dari pernyataan yang masih bersifat global. Dapat dicontohkan pada hadits yang menerangkan bahwa Nabi Saw. pernah shalat di atas tanah bekas kencingnya kucing, Beliau bersabda : ( أنها ليست بنجس , أنها من الطوافين عليكم والطوافات ) , maka bukan berarti tempat bekas kena air kencing kucing adalah suci dan sah untuk melakukan shalat di atasnya, dengan dalilh bahwa Nabi pernah melakuka salat di tempat semisal itu. Oleh karena itu, pengamatan pada aspek bahasa −dari gramatikal matan hadits saja− belum cukup untuk menunjukkan bahwa teks itu bermakna umum. Tetapi perlu melihat aspek tradisi, yang dalam hal ini berupa Asbabul Wurud dari penjelasan para perowi. Dalam konteks hadits ini seorang perowi mengatakan : ( سها رسول الله , فسجد )  "Rasulullah lupa, maka Ia bersujud", dari sini ditarik kesimpulan bahwa shalatnya rasul adalah karena sebab lupa dan menggunakan dalil Istishhab dalam masalah ini.[32] Adapun teks-teks umum dengan faedah hukum qath'iy (pasti) sangatlah jarang ditemui, sebab pengkhususan makna lebih banyak menampakkan substansi syariat.[33] Kesimpulan umum dari pandangan Abul Husain dapat diringkas dalam kaidah-kaidah di bawah init;

a)       Teks umum dapat berfaedah qath'iy (pasti) dengan keumuman-nya.

b)      Teks umum dapat mengandung makna khusus yang berfaedah qath'iy.

c)       Teks umum (al-Quran dan Sunnah) dapat dikhususkan dengan dalil akal.

d)      Teks umum al-Quran dapat dikhususkan dengan teks khusus dari al-Quran, Sunnah Mutawatir dan Ijma’.

e)       Teks umum dapat dikhususkan dengan Khabar Ahad

(iii) Teks Ditinjau dari Aspek Kandungan Hukum Taklif. Pada aspek ini teks terbagi menjadi dua bentuk, yaitu; teks memuat makna perintah (al-Amr) dan teks memuat makna larangan (al-Nahy). Dari dua bentuk muatan makna ini masing-masing memiliki faedah dalam perangkat hukum syariat, berupa; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Dalam prosesnya para ushuliy mencoba menarik terminologi ini dari bentuk bahasa baik pada aspek ekstrinsik maupun intrinsiknya baru kemudian menetapkan makna hukum.

Bentuk kata perintah (al-Amr), menurut Abul Husain secara subtansial tidaklah berfaedah “tuntutan wajib untuk dikerjakan” (li Thalab al-Fi’l) seperti pendapat jumhur, melainkan berfaedah “kehendak/maksud” (al-Iradah). Sebab pada pengertian Abul Husain al-Amr untuk memiliki faedah “tuntutan wajib” masih membutuhkan prasyarat, yakni; perintah tersebut harus diucapkan dengan modulasi suara yang tinggi. Menurut jumhur dengan adanya prasyarat ini sangatlah mustahil untuk diterapkan pada teks-teks al-Quran yang mati untuk ditarik pada sebuah teori. Beda pandangan ini dilatar-belakangi oleh dua sudut pandang, yaitu jumhur ulama hanya meninjau dari aspek ekstrisik kebahasaan saja, sedangkan Abul Husain meninjau dari ekstrinsik dan intrintik sekaligus. Teori Abul husain semacam itu sebenarnya juga pernah dikeluarkan oleh beberapa ushuliy, seperti; al-Amidi, Ibnu Hajib, al-Qadli Abdul Wahab dan beberapa yang lainnya.[34]  Pandangan Abul husain dalam makna kata perintah ini dapat diringkas pada kaidah-kaidah berikut ini:

a)       Perintah setelah larangan bermakna menurut asal faedah makna sebelumnya.

b)      Perintah wajib dilakukan hanya sekali. 

c)       Perintah atas sesuatu perkara, bukanlah larangan untuk perkara lain yang menjadi kebalikannya.

d)      Perintah tidak harus disegerahkan, tetapi boleh diakhirkan hingga batas-batas waktu yang ditentukan.

e)       Perintah yang memiliki tenggang waktu (muaqqat), ada kalanya muwassa’ (diperluas waktunya) dan ada kalanya mudlayyaq (dipersempit).

Ketiga jenis metode yang telah disebutkan di atas merupakan satuan teoritis penafsiran hukum dari teks-teks keagamaan. Sejauh ini penulis belum menemukan secara detail penjelasan teori semantik dalam bentuk intepretasi makna, seperti; Mafhum Mukhalafah, Mafhum Muwafaqah, dan sejenisnya, dalam satuan metodologi Abul Husain. Melainkan hanya berupa percikan-percikan kecil dari penjelasan ketiga metode tersebut. Sebagaimana teori tersebut menurut para ahli baru  muncul secara teoritis di tangan para ushuliy pada era pertengahan, seperti; al-Ghazali dan al-Amidi.[35] Sekalipun secara praktis teori itu sudah pernah diterapkan dalam beristinbath oleh dua orang mujtahid abad kedua, Malik ibn Anas dan al-Syafi'i.[36] 

 

b. Af'al al-Rasul

Penggunaan redaksi Af’al al-Rasul (Perilaku Rasul) oleh Abu Husain di sini sebenarnya seperti yang dimaksudkan para ushuliyyin yang lain, yaitu berbicara masalah Sunnah Rasul yang menyangkut kedudukannya sebagai dalil, penafsiran makna hukum, dan klasifikasinya. Dan, bukan berarti Abul Husain hanya mengangkat Sunnah Fi’liyyah (Perilaku Rasul) saja, tetapi juga Qauliyyah (Perkataan Rasul) dan Taqririyyah (Penetapan Rasul) yang keduanya masuk ke dalam makna Af’al menurut logika fikih. Pnggunaan redaksi Abul Husain yang berbeda dengan mayoritas ushuliyyin tersebut secara tidak langsung menggiring kita pada dua terma sekaligus, yaitu : pertama, Sunnah Rasul yang menjadi bahasan pokok, dan kedua menyangkut masalah Af’al Mukallaf (keberlakukan hukum syariatbagi perbuatan mukallaf) dalam narasi teologi Mu’tazila yang berbeda dengan Asy’ariyah..        

Yang dimaksud dengan Af’al al-Rasul ialah segala bentuk perilaku baik yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah maupun yang ditinggalkannya. Menurut logika Abul Husain, mengenai perilaku yang pernah dikerjakan oleh Rasul terbagi menjadi dua bentuk, yaitu; (i) perilaku yang dikerjakan khusus oleh diri Rasul, seperti shalat dan puasa. (ii) perilaku yang terkait dengan pihak lain, seperti hukum pidana ('Uqubah). Sedangkan perilaku yang ditinggalkan oleh Rasul juga terbagi menjadi dua bentuk yang sama, yaitu; (i) perilaku yang ditinggalkan khusus oleh diri Rasul, seperti meninggalkan duduk istirahah pada rakaat kedua. Dan, (ii) terkait dengan pihak lain, seperti wewenang dalam peradilan dengan memberi pengampunan. Dari setiap bagian tersebut memiliki konsekuensi hukum baik berupa hukum mubah, sunnah, wajib, ataupun sebaliknya.[37]

Cara untuk mengeluarkan makna-makna hukum terhadap bentuk pertama; perilaku yang terkait dengan pribadi Rasul, dapat dipahami langsung secara tekstual, dan/atau dengan menakar bobot nilai kemaslahatan yang terkandung, dan/atau dari keterangan dalil khithab yang menunjukkan hukum tertentu, dan/atau dari muatan-muatan kandungan hukum (Dilalah al-Ma'na) yang terdapat di dalamnya. Sedangkan mengenai perilaku Rasul yang terkait dengan pihak lain, seperti pelaksanaan hukum pidana dengan ragam bentuknya. Menurut Abul Husain hanya berlaku seketika itu.  Seperti sanksi atau ganjaran setimpal yang dibebankan bagi para pelanggar hukum, maka hanya berlaku saat itu saja. Ia juga menegaskan bahwa status kebijakan pidana (Qadla'iy) boleh untuk dilimpahkan kepada pihak lain yang ditunjuk oleh Rasul.[38]     

Analisa fikih semisal ini hampir senada dengan pemahaman jumhur mengenai intepretasi Sunnah dengan klasifikasi pada status hukumnya. Dalam penempatan status hukumnya, jumhur ulama membagi Sunnah Rasul ke dalam tiga bentuk, yaitu : Sunnah Tasyri’iyyah, Tanfidziyyah dan Qadla’iyyah. Namun klarifikasi yang dihadirkan Abul Husain masih belum terperinci secara gamblang sebagaimana para ulama masa setelahnya, seperti dalam al-Furuq; Syhabuddin al-Qarafi (juz 1/ hal. 205-209), Zad al-Ma’ad; Ibnu Qayyim (juz 3/ hal. 489), Hujjatullah al-Balighah; al-Dahlawi (juz 1/ hal. 128-129), dan yang lainnya.      

 

c. Nasakh-Mansukh  

 

Teori nasakh-mansukh merupakan bahasan penting yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan istinbath hukum. Sebagaimana orang pertama yang merumuskan teori ini adalah imam al-Syafi'i. Hingga Ishaq ibn Rahawiyah berkata : "Saya belum pernah menjumpai teori nasakh-mansukh sebelum perjumpaan Saya dengan al-Syafi'i". Sehingga memicu Abul Husain untuk memberikan rincian sedetail mungkin terkait dengan dasar penetapan, syarat-rukun, dan kaidah-kaidah yang dibangun dari teori ini.

Abul Husain memberikan definisi nasakh-mansukh dengan redaksi yang tepat sasaran. Yaitu upaya “menghilangkan” suatu hukum yang sebelumnya telah ditetapkan dengan mengikuti aturan syariat. Ia menuliskan : ازالة مثل الحكم الثابت بقول المنقول من الله , او رسوله , او فعل منقول من رسوله.[39]Penggunaan lafal : إزالة (menghilangkan) memiliki intonasi makna yang tepat terhadap serangkaian topik yang terbahas dalam teori nasakh-mansukh. Oleh karena itu, dalam redaksinya tidak mengikuti redaksi imam al-Syafi’i yang menggunakan lafal : إنتهاءالحكم (selesainya peran dan fungsi suatu hukum), sekalipun lafal semisal ini pernah dijadikan standart teori dalam tradisi Mu’tazilah dari seorang Abu Abdullah al-Bashri. [40] Definisi Abul Husain ini  sejalan dengan pandangan Abu Hasyim al-Jubba'i.[41]

Bertolak dari definisi tersebut Abul Husain tidak mensyaratkan harus terdapat hukum pengganti dari hukum yang sebelumnya telah terhapus. Antara ada atau tiadanya suatu pengganti hukum dalam terma nasakh dapat terjadi dalam syariat Islam. Demikian halnya mengenai fungsi hukum yang terganti, ada yang tidak berfungsi sebagai hukum sama sekali; seperti dihapusnya perintah shalat menghadap Baitul Maqdis  dengan perintah menghadap Ka'bah, dan ada juga yang masih tetap berfungsi, seperti dihapusnya perintah puasa di bulan Asyura' dengan perintah wajib puasa di bulan Ramadlan.[42] Sebagaimana puasa di bulan Asyura' tersebut masih berlaku sebagai ibadah sunnah.    

Terma nasakh dibedakan dari terma penciptaan suatu hukum. Sebab nasakh baru akan terjadi apabila suatu hukum telah ditetapkan sebelumnya oleh syariat kemudian dihapuskan dan diganti dengan hukum baru yang lebih menampakkan suatu kemaslahatan. Hal ini bukan berarti syariat telah menetapkan perintah yang dipandang buruk atau tidak sesuai. Akan tetap, antara hukum yang mengganti dan hukum yang diganti sama-sama memiliki tujuan utama yang mana bentuk kemaslahatannya berbeda menurut kondisi saat itu berdasarkan pandangan syara’.[43] Diantara yang menjadi hikamah dari terma nasakh ini ialah kemurahan Allah yang diberikan kepada hambaNya dengan memberikan keringanan, kelonggorang, dan tambahnya kenikmatan di dalam menjalankan seperangkat hukum-hukum syariat di atas dunia.   

Adapun jenis-jenis nasakh dalam terminologi pemikiran ushul Abul Husain ialah sbb.:

  • Nasakh pada al-Quran terdapat pada tiga bentuk:[44]

( نسخ التلاوة دون الحكم ) , ( ونسخ الحكم دون التلاوة ) , ( ونسخ الحكم والتلاوة معا ) .

  • Boleh terjadi nasakh antara al-Quran dengan al-Quran, seperti dihapusnya ketetapan masa iddah setahun bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya (QS. Al-Baqarah: 240) dengan masa iddah empat bulan sepuluh hari (QS. Al-Baqarah: 234). Demikian halnya boleh terjadi nasakh antara Sunnah dengan Sunnah, seperti larangan Rasul untuk melakukan ziarah kubur kemudian beliau memperbolehkannya.[45]
  • Boleh terjadi nasakh pada Sunnah dengan al-Quran, seperti dihapuskannya hukum shalat menghadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan Sunnah Rasul dengan turunnya firman Allah untuk menghadap ke arah Ka'bah (QS. Al-Baqarah: 150). Demikian halnya boleh terjadi nasakh pada al-Quran dengan Sunnah, baik Sunnah Mutawatir maupun Sunnah Ahad. Contoh penghapusan dengan Sunnah Mutawatir yaitu dihapusnya hukuman bagi wanita pezina untuk dikurung di dalam rumah sampai meninggal dunia (QS. An-Nisa': 14) dengan diturunkan firman Allah untuk menggantinya dengan seratus kali cambukan (QS. An-Nur: 2), kemudian Rasul mengganti hukuman tersebut dengan memberlakukan rajam.[46] Sedangkan penghapusan dengan Sunnah Ahad terjadi pada hukum peng-halal-an segala makhluq ciptaan Allah di bumi (QS. Al-An'am: 145) dengan larangan Rasul untuk memakan setiap binatang buas dan bertaring.[47] 
  • Tidak boleh terjadi nasakh pada hukum-hukum yang telah ditetapkan di dalam Ijma' dengan al-Quran atau Sunnah, dan bukan sebaliknya, sebab Ijma' dilandaskan pada al-Quran dan Sunnah yang terjadi setelah masa kenabian.[48] Sebagaimana keputusan Ijma' tidak dapat dihapus dengan Qiyas, sebab kedudukan Ijma' lebih kuat daripada Qiyas.[49]   

 

d. Ijma'

Sebagaimana jumhur ulama yang lain Abul Husain juga mengakui Ijma' sebagai landasan hukum yang harus diperhatikan dalam melangsungkan istinbath.[50] Ia melandaskan argumentasinya itu baik secara syar'iy maupun ‘aqliy. Pengertian Ijma’ menurutnya juga sebagaimana jumhur yang hanya tertuju pada masalah-masalah ijtihadiyyah saja.[51] Pengertian tersebut sebagaimana yang dimaksud oleh al-Baidlawi dalam "al-Minhaj"yaitu terminologi Ijma’ yang hanya dikhususkan sebagai bidang garapan para mujtahid (Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi) dan bukan Ijma’ dalam masalah-masalah keislaman yang dogmatis.[52]

Menurut Abul Husain, Ijma’ dapat ditetapkan apabila benar-benar terdapat kata sepakat dari kalangan mujtahid yang diketahui dari “ucapan lisan”, “sikap/perbuatan” dan “kesetujuan atau ridla” mereka.[53] Maksud “ridla” di sini bisa diketahui melalui ungkapan lisan atau tiada penolakan ketika putusan hukum tersebut diterapkan. Terma inilah yang selanjutnya disebut Ijma’ Sukuti. Dalam masalah ini Abul Husain mempertimbangkan bahwa diamnya seorang mujtahid dapat mengisyaratkan kesetujuan atau ketidak-setujuan, maka harus terdapat ungkapan yang nyata, baik dari lisan, perbuatan, atau sikap-sikap lain yang mengisyaratkan hal itu.[54]  Dapat dipahami Sang Imam masih tetap mengfungsikan Ijma’ Sukuti sebagai sumber hukum dengan menetapkan beberapa syarat, seperti halnya mayoritas ulama Hanafiyah dan madzhab Ahmad ibn Hambal. [55]

Dalam pandangan Abul Husain Ijma’ dapat terjadi di masa Sahabat dan Tabi’in, bahkan di setiap pergantian masa. Dalam alur bahasan kitab ini, ia lebih banyak memberi bantahan-bantahan bagi pihak yang menolak atau hanya mengakui Ijma’ pada masa Sahabat saja, seperti pandangan Abu Dawud al-Dhahiri beserta para pengikutnya. Menurut Abul Husain Ijma’ merupakan wujud dari kemufakatan umat Islam atas suatu masalah hukum yang awalnya masih diperdebatkan. Dan dengan Ijma’ berarti ‘Illah hukum sudah ditemukan secara mufakat. Maka bagi yang mengingkarinya berarti ia telah mengingkari kesepakatan umat Islam, dan telah keluar dari barisan kaum muslimin.[56]

Abul Husain sangat selektif dalam menilai suatu perkara yang digolongkan ke dalam Ijma’, baik berkenaan dengan proses pencapaian, muatan isi, maupun penukilan pernyataan Ijma’. Berkenaan dengan proses ia melihat banyak kejanggalan di kalangan ulama Sunni terhadap pengangkatan Ijma’ yang dengan sengaja tidak mengikut-sertakan fatwa-fatwa Washil ibn Atha’.[57] Hal inilah yang sering terjadi sehingga Ijma' hanyalah terbatas sebagai keputusan golongan dan perlu diklarifikasi lebih lanjut.

Mengenai muatan Ijma’ Abul Husain sepaham dengan cara pandang gurunya, al-Qadli Abdul Jabbar. Menurut Sang guru bahwa Ijma’ ditinjau dari aspek ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu; pertama, Ijma’ dalam masalh-masalah duniawi yang masih termasuk sebagai katagori Ijma’ namun hanya berlaku pada masa itu saja, seperti Ijma’ dalam menetapkan kebijakan strategi perang dan sikap politik negara. Di benak kedua mujtahid ini status hukum pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah bukan hanya termasuk katagori duniawi saja, melainkan juga masuk dalam ketagori kedua, yaitu Ijma' dalam katagori agama. Pada katagori inilah fungsi ke-hujjah-an tersebut berlaku dari satu umat hingga umat berikutnya, baik yang menyangkut masalah nalaritas akal ─seperti melihat Allah di akhirat tanpa terdapat dimensi ruang, dan terlebih menyangkut masalah syar’iyyah.[58]

Sedangkan pada segi cara penukilanya, Abul Husain menerima riwayat Ijma' dari Khabar Ahad. Menurutnya Ijma’ Ahli Madinah seperti yang digembor-gemborkan imam Malik tetap dapat diterima sebagai hujjah. Yakni apabila penukilan tersebut bersumber dari para Tabi’in yang mayoritas hidup di wilayah Madinah, mereka lebih utama daripada umat setelahnya, dan mereka pun lebih tahu tentang infrastruktur syariat Islam yang lebih dekat dengan masa kenabian.[59]

Jika kita perhatikan pada terma Ijma’ Abul Husain ini ada kemiripan dengan pandangan madzhab Syafi’iyyah dalam segi penukilan riwayat. Seperti yang disebutkan al-Asnawi masih tetap mengangkat Ijma’ Ahli Madinah sebagai hujjah terkhusus dari  Sahabat dan Tabi’in yang hidup di wilayah itu saja.[60] Sedangkan dalam segi muatan yang terkandung di dalamnya, ulama Syafi’iyyah secara mufakat mengakui Ijma' pada masalah syar’iyyah dan lughawiyyah saja, bukan pada masalah dunyawiyyah dan ‘aqliyyah sebagaimana pandangan Abul Husain di atas.[61]

Sedangkan tentang siapa sajakah yang tergolong “adil” dan diterima fatwa-fatwanya, menurut Abul Husain tidak ada kejujurandari ulama Sunni dalam pengangkatan Ijma' tanpa menyertakan pandangan-pandangan Washil ibn Aha’. Dapat kita lihat pada ushul Syafi’iyyah, sebagaimana al-Zarkasyi menyebutkan, bahwa kreteria adil benar-benar menentukan terhadap kedudukan suatu fatwa antara dapat diterima ataukah tidak.[62] Termasuk pada kasus Washil karena keterlibatannya dalam penyelewengan masalah akidah.   

 

2) Istinbath Dalil-Dalil Akal

Sebagaimana mayoritas ulama, dalam teori Abul Husain dalil-dalil syariat terbagi menjadi dua macam, yaitu; "dalil-dalil wahyu" dan "dalil-dalil akal". Dari dalil-dalil akal tersebut ada kalanya dapat dicapai dengan "nalar akal" dan ada kalanya tidak cukup dengan nalar, melainkan membutuhkan suatu penguat.[63] Setiap sesuatu yang disebut dalil akan memiliki konsekuensi hasil hukum, demikian halnya untuk dalil-dalil akal ini, yakni ada kalanya akan menghasilkan produk hukum jadi atau setengah jadi. Proses untuk menghasilkan produk hukum jadi memiliki metode tersendiri yang disebut dengan "Qiyas" (analogi), sedangkan untuk menghasilkan hukum setengah jadi ─yang di dalamnya membahas sebab-musabab 'Illah juga memiliki metode tersendiri yang disebut "Istidlal" .[64]

Di bawah ini akan diamati kedua metode tersebut dan menakar keabsahannya dengan studi komperatif terhadap pandangan-pandangan para ushuliyyin yang lain.

(i) Qiyas

Abul Husain dalam kitab ini mencantumkan pembahasan Qiyas (analogi) sebanyak dua kali. Bagian pertama menitik-beratkan pada kedudukan teori ini sebagai dalil syariat dan dengan membedakan antara teori Qiyas Syar'iy hasil rumusan ulama Islam dengan teori Qiyas ‘Aqliy dari para filosof Yunani, seperti Aristoteles. [65] Sekiranya Abul Husain bermaksud menunjukkan titik beda untuk memurnikan kembali pemikiran Islam yang telah banyak terkontaminasi nalar filosofis dari para imigran Persia kala itu yang berlabel Yunani.

Akan tetapi, dari latar-belakang sosioculture sedemikian itu juga ikut mempengaruhi pemikiran Abul Husain sendiri. Sebagaimana mayoritas ushuliyyin yang mengakui Qiyas sebagai dalil istinbath mereka sama-sama menyatakan wajib diamalkan berlandaskan syariat. Kelompok mayoritas ini lebih cenderung mengutip ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits tanpa diperkuat alasan yang rasional. Sementara itu menurut Abul Husain, jika hanya demikian maka jawaban tersebut rentan dengan fitnah-fitnah apabila dihadapkan pada praktek analogi itu sendiri, dan terlebih dalam menantang gejolak pemikiran luar yang bebas, seperti sedang berkecamuk di Bashrah kala itu. Oleh karena itu, ia memberi pengesahan teori Qiyas sebagai dalil syariat berlandaskan logika dan dalil-dalil wahyu sekaligus.[66] Meskipun pendapat ini terkesan baru dan berbeda dengan jumhur ushuliyyin namun pernah dilontarkan oleh Qafal al-Syasyi dari madzhab  Syafi'i.[67]

Secara tepat Abul Husain memberikan definisi Qiyas sebagai: ( اثبات حكم الاصل فى الفرع لاجتماعهما فى علة الحكم )  artinya; menetapkan fungsi hukum “asal” pada hukum “cabang” sebab terdapatnya kesesuaian dari ‘Illah (indikator hukum). Definisi ini bertujuan untuk membedakan antara teori Qiyas menurut tinjauan umum dengan teori Qiyas menurut tinjauan syariat. Dan yang termasuk ke dalam katagori Qiyas Syar’iy menurut Abul Husain hanya pada terapan Qiyas al-Thard saja, tidak pada bentuk-bentuk lain, terlebih pada bentuk Qiyas al-‘Aks seperti yang biasa diperbicangkan para ushuliyyin dari madzhab Hanafi, yang sering kali hanya mengamati terhadap salah-satu sifat hukum ¾yaitu antara asal atau cabang¾ saja, yang seharusnya perlu memperhatikan keduanya. [68] Apabila dalam Qiyas al-‘Aks telah benar sebagaimana menurut aturan maka dapat dikatagorikan ke dalam Qiyas Syar’iy dengan tetap mengikuti aturan teori yang sama dengan Qiyas al-Thard. [69]

Dalam mempraktekkan teori Qiyas kita membutuhkan empat unsur terpenting, yaitu; اصل (bentuk asal), فرع (bentuk cabang), حكم (hukum dari bentuk asal dan cabang), dan juga غلة (indikator hukum). Empat unsur ini sudah menjadi kesepakatan jumhur dan telaah kita selanjutnya hanya akan tertuju pada prasyarat yang telah ditentukan Abul Husain dalam pengkiasan. Dalam hal ini, Abul Husain tidak berbicara tentang فرع dan اصل (yang selanjutnya ditulis “Asal” dan “Cabang”), sebab keduanya masuk ke dalam pembahasan dua unsur terakhir, yaitu; علة dan جكم (selanjutnya ditulis “’Illah” dan “Hukum”).

Pada prakteknya, keberadaan Hukum disyaratkan harus benar-benar “ada” pada Asal dan Cabang. Dan, boleh hanya tertuju pada salah-satunya, atau kedua-duanya sekaligus. Diperbolehkan juga apabila analisa kita hanya tertuju pada Hukum saja tanpa mengamati Asal dan Cabang.  Dalam praktek pengamatan ini harus benar-benar berpegang pada bentuk Asal sebagai standart.[70]

Apabila pengamatan kita hanya terfokus pada Cabang saja, menurut Abul Husain hendaknya dalam proses pengkiasan tidak boleh ada pertentangan terhadap nash atau Ijma’. Contohnya pada masalah hukum yang berkenaan dengan bilangan, seperti; kafarat, hudud, dan takaran-takaran pada timbangan atau masalah-masalah lainnya yang telah menjadi pengecualian di dalam Qiyas. Dalam hal ini apabila tidak dimungkinkan melakukan Qiyas maka seorang mujtahid boleh bersikap up-stand. Apabila memungkinkan, maka hendaknya lebih waspada apakah Hukum tersebut sudah terkandung secara menyeluruh ─dalam Cabang, yang langsung bisa diputuskan hukumnya─ ataukah sebagian saja, jika sebagian maka tidak bisa diberlakukan Qiyas dan hukumnya tetap dibiarkan sebagaimana semula.

Demikian halnya apabila pengamatan kita hanya tertuju pada Asal saja, maka hendaknya mengamati bahwa muatan Hukum tersebut terkandung secara menyeluruh atau hanya sebagian saja. Apabila hanya sebagian maka hendaknya mengkiaskan pada bentuk Hukum lain yang memungkinkan terdapat kesesuaian ‘Illah sehingga hukum termuat secara menyeluruh. Contohnya, mengkiaskan perkara “orang yang telah melihat fajar pagi dan ia belum shalat Subuh, padahal ia menjumpai waktu shalat sebelumnya” dengan perkara “orang yang terlambat mensucikan muza dua pada batas waktunya, padahal ia tidak punya udzur”, dengan dasar ‘Illah bahwa kelalaian orang itu telah dibuat-buat oleh dirinya sendiri, sehingga shalat orang tersebut dihukumi batal. Ada perbandingan dari bentuk Asal lainnya yang lebih tepat, yaitu dikiaskan pada kasus hukum “seorang musafir dengan niat bermukim –antara boleh-tidaknya jama’ & qashar, sedangkan ia berada pada waktu shalat”  dengan ‘Illah hukum bahwa ia menjumpai waktu shalat tersebut. Pada bentuk pengkiasan kedua lebih memuat hukum secara menyeluruh daripada bentuk pertama. 

Untuk pengamatan yang hanya tertuju pada Hukum saja, tanpa melibatkan Asal dan Cabang, maka hendaknya benar-benar membedakan makna ‘Illah dan mampu memilah makna yang lebih bersesuaian antara Asal dan Cabang. Contohnya jika seorang mujtahid mengamati ‘Illah pada perkara “puasa merupakan syarat daripada i’tikaf” yaitu: sebagai satu kesatuan ibadah yang dilakukan pada kondisi/tempat tertentu, dikiaskan dengan “wukuf di Arafah”.[71] Proses ini ─kurang dan lebihnya─ menurut ahli ushul yang lain dikenal dengan metode Tanqih al-Manath.[72]

Sedangkan pada pembahasan ‘Illah (indikator) disyaratkan harus benar-benar “ada” baik pada bentuk Asal maupun Cabang. Jika ‘Illah tersebut sudah sempurna maka putusan hukum dapat segera dilakukan. Jika belum sempurna atau masih terlihat setengah-setengah, maka putusan hukum tidak dapat diberlakukan dan harus dicarikan pengkiasan pada bentuk yang lain. Sempurna maksudnya, bahwa ‘Illah tersebut ─baik antara Asal atau Cabang─ harus berupa berindikasi makna yang tunggal, dan tidak boleh masih memungkinkan terdapat indikasi makna lainnya. Contohnya ketika ulama Syafi’iyyah tidak menerima pengkiasan riba antara gandum dengan biji-bijian dengan ‘Illah bahwa keduanya dapat ditimbang. Menurut logika Syafi’iyah, 'Illah riba yang terdapat pada gandum harus dapat berlaku pada segala jenis gandum ─sebab “gandum” sudah ditetapkan oleh nash─ dan bukan pada timbangan. Menurut Abul Husain, ‘illah gandum tetaplah ada pada timbangan, bukan pada jenis gandumnya. Dengan alasan bahwa Nabi ketika melarang riba pada jual-beli barter antara gandum dengan gandum beliau mengecualikan apabila timbangan keduanya sama. Jika timbangan tersebut tidak sama maka itulah yang termasuk riba.

Teori di atas menurut redaksi ahli ushul lainnya disebut Qiyas al-Dauran. Yaitu ‘Illah hukum bergantung pada obyek kasus yang dihukumi antara ada dan tiada. Atau dalam redaksi fikihnya : ( دوران الغلة مع المدلول وجودا وعدما ) . Keberadaan hukum ditentukan oleh keberadaan sifat yang menyebabkan hukum tersebut ada, jika sifat itu dibuang maka hukum tersebut tidak akan pernah ada. Prof. Ali Sami al-Nasyar[73] menjelaskan bahwa Mu’tazilah menjadikan status muatan hukum dari analogi al-Dauran berfaedah mutlak (baca; qath’iy) dengan terdapatnya ‘Illah dan tiada dalil yang menandinginya. Pernyataan semisal ini juga dikeluarkan oleh Syihabuddin al-Qarafi yang bertolak-belakang dengan mayoritas ulama Ahlussunnah.

 

(ii) Istidlal

Dalam tradisi ahli ushul, teori ini ada yang membahasnya secara terpisah sehingga dapat diangkat sebagai dalil tersendiri, dan ada pula yang menjadikannya sebagai teori sempalan dari Qiyas (analogi). Orang pertama yang menggunakan istilah Istidlal dan memasukkan ke dalam katagori Qiyas adalah Muhammad ibn Idris al-Syafi'i (204 H.). Tokoh ini menyebut Qiyas sebagai Istidalal, dan Istidlal sebagai Qiyas sebagaimana terminologi ijtihad akal.[74] Para ahli mengamati bahwa konseptualisasi metode Istidlal yang terbahas secara terpisah dengan terma Qiyas baru dimunculkan oleh Imam Haramain (478 H.). Yakni sebagai usaha penetapan hukum dengan bertendensi pada kesimpulan dalil-dalil secara menyeluruh (Qawa'id al-Ushul al-Kulliyyah) tanpa melihat dalil-dalil secara terperinci.[75] Patut dimaklumi, sebab terma Istidlal  menurut terminologi al-Syafi'i hanya dipahami secara bahasa, yakni; pengadaan dalil (thalab al-Dalil) dengan mengfungsikan akal, dan kemudian disatu-atapkan pada Qiyas, atau ijtihad akal. Sedangkan dalam terminologi Imam Haramain lebih diperinci lagi sehingga tidak bercampur dan dipahami secara general.

Selepas masa al-Syafi'i dan sebelum hadirnya Imam Harmain dengan perincian itu, sebenarnya telah muncul argumentasi  serupa mengenai Istidlal sebagai teori atau dalil tersendiri dalam melangsungkan istinbath ketika tidak terdapat keterangan dari nash. Yaitu gagasan yang dihadirkan oleh Abul Hasan al-Kurkhi (340 H.) dari kelompok Hanafiyah, sebagaimana hal tersebut juga diuraikan oleh Abul Husain dalam al-Mu'tamad dan Syarah al-'Amd.[76] Selanjutnya gagasan tersebut diadopsi oleh Abu Bakar al-Jashosh dan al-Qadli Abdul Jabbar.[77]  Dari mereka inilah yang selanjutnya banyak memberi pengaruh pada pemikiran Abul Husain dalam mengembangkan teori Istidlal.

Secara definitif Abul Husain menyebut Istidlal sebagai :

 

 ترتيب اعتقادات او ظنون , ليتوصل بها الى الوقوف على الشيء باعتقاد او ظن ( المعتمد: 1/6 )    

 

Dari definisi di atas mengandung pengertian sebagai upaya menata-tertibkan indikasi-indikasi hukum baik yang bersifat pasti (qath'iy) maupun belum pasti (dhanniy) untuk dianalisa hingga menghasilkan suatu kesimpulan hukum. Dan terhadap kesimpulan hukum yang akan dihasilkan bergantung kepada sifat-sifat dari setiap indikasi yang membentuk suatu hukum tersebut. Melihat definisi tersebut menampakkan kemiripan dengan Qiyas Manthiqiy, sebagaimana redaksi semisal juga digunakan oleh Abu Walid al-Baji (474 H.) dalam "Ihkam al-Fushul" dan "al-Hudud", dan Abdul Mu'min al-Baghdadi (739 H.) dalam "Qawa'id al-Ushul".

Secara esensial pandangan Abul Husain tidak keluar dari pokok bahasan dari gurunya al-Qadli Abdul Jabbar, dan juga searah dengan pandangan yang diberikan oleh al-Jashosh dari gurunya al-Kurkhi. Menurut mereka Istidlal merupakan sebuah metode untuk menetapkan hukum-hukum syariat yang bertendensi pada kaidah-kaidah ushuliyyah, dan ijtihad tanpa terdapat keterkaitan dengan dalil-dalil secara terperinci.[78] Dalam pengamatan Abul Husain bentuk metode semisal itu serupa dengan metode Qiyas. Karena setiap produk hukum hasil pengkiasan tidak dapat diketahui bentuk 'Illah-nya dari dalil-dalil nash secara langsung, tetapi 'Illah ─yang diambil dari perantara dalil-dalil nash tersebut─ diangkat menjadi pijakan sebuah hukum, sebagaimana hukum syariat harus benar-benar bertendensi pada suatu dalil.[79]

Adapun bentuk-bentuk Istidlal Abul Husain yang sebagian kami ambil dari al-Qadli Abdul Jabbar ialah sbb.:[80]

  • ان المجتمعين اذا اجمعوا فى المسئلة على احد القولين , فان قيام الدلالة على بطلان احدهما يقتضى صحة الأخر ( شرح العمد: 2/226 )

Yaitu Istidlal terhadap hasil perdebatan dari masalah-masalah dalam bab Ijma'. Hal ini biasanya terjadi apabila dari para peserta Ijma' terdapat dua pandangan hukum atas satu masalah, jika dari salah-satu pendapat tersebut dapat dipatahkan dengan tendensi dalil yang kuat maka pendapat kedua langsung dapat diangkat sebagai keputusan. Pemahaman ini merupakan bentuk logika ushuliyyah yang tidak terdapat ikhtilaf di dalamnya. 

  • وكذلك اذا اجمعوا فيها ─اى فى المسألة─ على اقاويل محصورة , فمتى دلت الدلالة على بطلان ما عدا واحدا منها تثبت صحته ( شرح العمد: 2/226 )

Yaitu apabila dalam melangsungkan Ijma' terdapat banyak pendapat hukum atas satu masalah, jika dari semua pendapat kecuali satu dapat dipatahkan dengan tendensi dalil yang kuat, maka pendapat satu tersebut dapat disahkan sebagai keputusan. Logika menetapkan hukum semacam ini juga bisa disebut dengan istilah al-Taqsim al-Hashir, dan logika ini juga termasuk bagian dari Istidlal menurut mayoritas ahli ushul seperti al-Amidi dan lainnya.    

  • وكذلك اذا اجمعوا على ان لافصل بين مسألتين , فمتى ثبت فى احدهما حكم : وجب ان يثبت مثله فى الأخرى , لانا متى لم نقل بذلك أدى الى مخالفة الاجماع ( شرح العمد: 2/226-227 )

Yaitu apabila Ijma' telah memutuskan tidak terdapat perbedaan di antara dua masalah, jika satu masalah ditetapkan sebuah hukum maka untuk masalah kedua juga harus ditetapkan hukum yang serupa. Logika Istidlal dalam masalah ini sangatlah jelas, sebab dalam kaidah menyebutkan hukum pada dua masalah tersebut sama.

  • الاستدلال على نجاسة سؤر الكلب , بان الخبر لما ورد بغسل الأناء من ولوغه , والطهارة لاتجب فى الشريعة الا عبادة مبتدأة أو لأجل النجاسة , فاذا ثبت ان لاعبادة علينا مبتدأة فى الاناء : وجب تطهيره لأجل النجاسة , ولاحادث هناك الا ولوغه فثبت بذلك نجاسة سؤره ( شرح العمد : 2/227 )

Yaitu Istidlal terhadap najisnya air liur anjing, sebab hadits yang menerangkan hal itu memerintahkan untuk membasuh bejana ketika terkena jilatan anjing, sedangkan thaharah (bersuci) tidak diwajibkan kecuali dalam rangka ibadah atau untuk menghilangkan najis. Apabila membasuh bejana tersebut ditetapkan tidak dalam rangka ibadah, maka wajib untuk membasuhnya karena sebab menghilangkan najis, dan tidak terdapat hadits lain kecuali "اذا ولغ الكلب فى اناء احدكم..." maka ditetapkan hokum najisnya air liur anjing tersebut. Sebagaimana bentuk Istidlal ini juga pernah diungkapkan oleh al-Jashosh dari gurunya al-Kurkhi.    

  • Dalam al-Mu'tamad (2/267) Abul Husain menyebutkan bentuk Istidlal Abul Hasan al-Kurkhi tentang pemberlakukan kafarat (denda) bagi orang yang sengaja makan/minum ketika puasa di bulan Ramadlan dengan i'tibar orang yang melakukan hubungan suami-istri ketika itu. Sebab pemberlakukan kafarat bukan karena hubungan suami-istri, melainkan hal tersebut dilakukan pada siang hari di bulan Ramadlan yang sudah ditetapkan dosa khusus bagi pelakunya, 'Illah hukum ini juga terdapat bagi orang yang sengaja makan/minum di bulan Ramadlan.[81]

 

Penutup

Dari uraian singkat penulis mengenai satuan-satuan teori dan nalar fikih Abul Husain al-Bashri dan dapat kami simpulkan ke dalam beberapa poin sebagai berikut :

  • Mu'tazilah dalam bidang teori ushul dan nalar fikih masih tetap berpegang pada dua prinsip dasar sebagaimana jumhur ulama, yaitu antara dalil akal dan dalil wahyu, keduanya saling menunjang dan tidak akan terjadi kontradiksi antara keduanya.
  • Abul Husain al-Bashri menuliskan kitab "al-Mu'tamad" menginginkan sebuah pembaharuan dalam teori ushul agar tidak lagi tercampuri atau tumpang-tindih dengan teori teologi.
  • Kemandirian berpikir yang dimiliki Abul Husain dalam merumuskan teori ushul menjadikan dirinya dapat bersikap moderat yang hampir mencitrakan seorang pemikir Ahlussunnah. Oleh sebab itu, kitab al-Mu'tamad menjadi rujukan dan sangat diperhitungkan oleh para ushuliy dari madzhab Syafi'i.
  • Metodologi istinbath hukum Abul Husain tersusun sistematis dan berpijak pada landasan syariat yang cukup logis, sebab dari setiap metode yang telah ia rumuskan selalu disertai dengan perbedaan pendapat di kalangan para ushuliy guna menangkis berbagai serangan pemikiran yang datang dari para filosof non-Islam.
  • Dalam metodologi istinbath hukum ia membaginya ke dalam dua bentuk, yaitu: (i) istinbath terhadap dalil-dalil wahyu, yang terdiri dari penarikan makna teks-teks syariat, dalil Af'al, Nasakh-Mansukh, dan Ijma'. (ii) istinbath dengan dalil-dalil akal yang terdiri dari Qiyas, Istidlal serta cabang-cabang lain dari bentuk ijtihad akal yang hampir secara umum masih berdiri di atas pijakan ushul al-Syafi'i.
  • Dalam bentuk nalar fikih Abul Husain tampil dengan logika-logika cerdas, hingga mampu memberikan seribu macam alasan yang cukup logis terhadap hukum-hukum yang telah digariskan oleh syariat.

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Abu Zahrah, Imam Muhammad, Ushul al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, 1996).

_____________, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, 1996).

Abu Zaiyd, Dr. Nashr Hamid, Ittijah al-'Aqly fi al-Tafsir (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, cet. V, 2003).

Al-Asnawi, Imam Jamaluddin, Nihayah al-Suul dalam Muhammad ibn Hasan al-Badakhsyi, Manahij al-'Uqul, (Beirut, Dar al-Fikr, cet. I, 2001).

Al-Bashri, Imam Abul Husain, al-Mu’tamad; dan Koreksi Syekh Khalil al-Mais (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. III, 2005).

Al-Ghazali, Imam Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustashfa, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000).

Al-Nasyar, Prof. Dr. Ali Sami, Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkiriy al-Islam, (Kairo, Dar al-Salam, cet. I, Kairo, 2008).

Al-Syahrastani, Imam Abul Fath Muhammad ibn Abdul Karim ibn Abu Bakar Ahmad, al-Milal wa al-Nihal (Beirut,Dar al-Ma’rifah, cet. VII,1998).

Badawi, Dr. Abdul Majid Abul Futuh, al-Tarikh al-Siyasiy wa al-Fikriy, (Manshuria, Dar al-Wafa’, cet. II,  1988).

Balaji, Dr. Abdussalam, Tathawwur 'Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, (Mansuria, Dar al-Wafa’, cet. I, 2007).

Baltaji, Dr. Muhammad, Manahij al-Tasyri' al-Islamiy fi Qarni al-Tsani al-Hijriy, (Kairo, Dar al-Salam, cet. I, 2004).

Imarah, Dr. Muhammad, al-Islam wa Falsafah al-Hukm, (Kairo, Dar al-Syuruq, cet. II, 2005).

Jum’ah, Prof. Dr. Ali, ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa ‘Alaqatiha bi al-Falsafah al-Islamiyyah, (Kairo, Dar al-Risalah, cet. I, 2002).

___________, al-Mushthalah al-Ushuliyyah wa Musykilah al-Mafahim (Dar al-Risalah, cet. I, Kairo, 2004).

___________, al-Ijma’ ‘inda al-Ushuliyyin, (Kairo, Dar al-Risalah, cet. I, 2002).

Khalaf, Syekh Abdul Wahab, Ushul al-Fiqh, (Kairo, Dar al-Hadits, 2003).

Sabu'i, Dr. Shalih al-Nash al-Syar'iy wa Ta'wiluhu, (Departemen Agama Qatar,Kitab al-Ummah, vol. 117, 2007)

Zuhaili; Prof. Dr. Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, (Damaskus, Dar al-Fikr, cet. III, 2005).

Zaidan, Dr. Abdul Karim, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Beirut, Mu'assasah al-Risalah, cet. V, 1996).



[1] Abul Fath Muhammad ibn Abdul Karim ibn Abu Bakar Ahmad al-Syahrastani (4799-548 H.), al-Milal wa al-Nihal, jilid 1, Dar al-Ma’rifah, cet. VII, Beirut, 1998, hal. 62

[2] Abdul Majid Abul Futuh Badawi, al-Tarikh al-Siyasiy wa al-Fikriy, Dar al-Wafa’, cet. II, Mansuria, 1988, hal. 20

[3] Adapun lima prinsip tersebut adalah ; (i) Asas Keadilan/ al-‘Adl, (ii) Azas Keesaan/ al-Tauhid, (iii) Janji dan Ancaman/ al-Wa’du wa al-Wa’id, (iv) Tempat di Antara Dua Tempat/ al-Manzilah baina al-Manzilatain, dan (v) Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Adapun di masa Washil ibn Atha’ hanya ada empat azas. Lihat- Muhammad Imarah, al-Islam wa Falsafah al-Hukm, hal. 216

[4] Nashr Hamid Abu Zaiyd, Ittijah al-'Aqly fi al-Tafsir, hal. 60

[5] Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, Dar al-Fikr al-Arabi, Kairo, 1996, hal. 129

[6] Lihat- Muhammad Imarah, op. cit., hal. 180

[7] Abdul Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, Dar al-Hadits, Kairo, 2003, hal. 114 dan Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Mu'assasah al-Risalah, cet. V, Beirut, 1996, hal. 71-72

[8] Sebuah penelitian ilmiah dilakukan oleh Ali Sami al-Nasyar salah seorang peneliti muda universitas al-Azhar tahun 1942, ia melakukan riset ilmiah mengenai metodologi pemikiran para ulama klasik terhadap tuduhan plagiat terhadap teori-teori filsafat Yanani. Riset ilmiah di bawah bimbingan Syekh Mushthafa Abdurraziq (mantan Syaikhul Azhar) tersebut diterbitkan dengan judul "Manahij al-Bahts 'inda Mufakkiriy al-Islamiy" mendapat sambutan hangat dan legalisasi dari pihak universitas. Ada empat poin yang tendensi penguat tentang kemurnian metodologi ulama Islam dari paham filsafat Ynani, yaitu sbb.;

(a) Terdapat perbedaan mendasar antara ulama Islam dan filosuf-filosuf Yunani dalam menetapkan standaritas ilmiah (baca; Had al-'Ilm).

(b) Para ulama ahli kalam secara tegas membanta teori analogi yang dipakai oleh Aristoteles, dan merancang teori tersebut sebagaimana dalam tuntunan Islam, yaitu yang disebut kaidah Qiyas.

(c) Terdapat perbedaan metode yang cukup mencolok dalam masalah istinbath terhadap teks-teks wahyu (al-Istinbath 'ala al-Nusush al-Syar'iyyah) antara ulama kita dengan para filosuf  Yunani, yakni dengan menganalisa teori-teori yang disajikan oleh al-Baqilani, Imam Haramain dan ulama Mu'tazilah.

(d) Terdapatnya manuskrip-manuskrip yang ditulis ulama kita pada masa permulaan dalam membantah logika-logika filsafat Aristoteles, seperti; kitab "al-Daqa'iq" karya al-Baqilani, dan "al-Ara' wa al-Diyanat" karya Ibnu al-Nubakhti,, serta kitab-kitab buah karya ulama Mu'tazilah seperti; Abu Ali al-Jubba'i, Abu Hasyim, al-Qadli Abdul Jabbar, Abul Abbas dan yang lainnya.

Lihat lebih jauh- Ali Sami al-Nasyar, Manahij al-Bahts 'inda Mufakkiriy al-Islamiy, Dar al-Salam, cet. I, Kairo, 2008, hal. 70-dst.

[9] Dinukil oleh Dr. Abdussalam Balaji dalam Tathawwur ‘ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, Dar al-Wafa’, cet. I, Mansuria, 2007, hal. 52

[10] Abdussalam Balaji, op. Cit., hal. 75

[11]Ibid., hal. 94

[12]Syekh Khalil al-Mais dalam mukadimah tahqiq kitab al-Mu'tamad, jilid 1, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. III, 2005, hal. G.

[13] Abdussalam Balaji, Tathawwur 'ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, op. cit., hal. 154

[14] Baca secara persis- Abul Husain al-Bashri, al-Mu'tamad, jilid 1, op. cit.,  hal. 3

[15] Syekh Khalil al-Mais, dalam mukadimah koreksi kitab al-Mu'tamad, hal. H-I

[16] Lihat lebih jauh- Abdussalam Balaji, Tathawwur 'Ilm Ushul al-Fiqh wa Tajadduduhu, hal. 96-97

[17] Jamaluddin al-Asnawi (772 H.) menyebutkan bahwa imam al-Razi mengamati kedua kitab tersebut dan banyak menukil pernyataan-pernyataan dari keduanya, dan bahkan seringkali imam al-Razi langsung menukil antara keduanya langsung dengan redaksi yang sama. Dikisahkan bahwa imam al-Razi kedua kitab tersebut dan mengambil inti sari pembahasannya. Oleh sebab itu, imam al-Asnawi tidak pernah lepas dari kedua kitab tersebut di kala mensyarah kitab Minhaj al-Wushul fi 'Ilm al-Ushul karya al-Baidlowi (685 H.) yang merupakan rangkuman dari beberapa kitab ushul Syafi'iyyah termasuk di dalamnya kitab al-Mu'tamad karya Abul Husain al-Bashri ini. Lihat- Jamaluddin al-Asnawi, Nihayah al-Suul ma'a Syarah al-Badakhsyi, jilid 1, hal. 8-9 

[18]Ali Jum’ah, ‘Ilm Ushul al-Fiqh wa ‘Alaqatiha bi al-Falsafah al-Islamiyyah, Dar al-Risalah, cet. I, Kairo, 2002, hal. 21

[19] Lihat- al-Mu'tamad, jilid 1, op. cit., hal. 6-7

[20] Ibid.,, jilid 1, hal. 8-9

[21] Shalih Sabu'i, al-Nash al-Syar'iy wa Ta'wiluhu, Kitab al-Ummah, Departemen Agama Qatar, 2007, hal. 46

[22] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa, hal. 5

[23] Nashr Hamid Abu Zaid, al-Ittijah al-'Aqliy fi al-Tafsi, op. cit., hal. 60

[24] Muhammad Imarah, al-Islam wa Falsafah al-Hukm, op. cit., hal. 181

[25] Abul Husain al-Bashri, al-Mu'tamad, jilid 1, op. cit., hal. 11.

[26] Ibid., hal. 12

[27] Ibid., hal. 19-20

[28] Ibid., hal. 22

[29]Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiy, hal. 130-dst. Dan Muhammad Imarah, al-Islam wa Falsafah al-Hukm, hal. 213-214               

[30] Abul Husain al-Bashri, al-Mu'tamad, jilid 1, op. cit., hal. 25

[31] Ibid., jilid 1, hal. 27

[32] Sebagaimana Mu’tazilah mendudukkan akal dalam runtutan dalil-dalil syariat, bahkan lebih dominan dengan syarat jika akal tersebut dapat “berpikir secara sempurna”, jika tidak maka tetap teks-teks wahyu-lah yang lebih dipreoritaskan, sebagaimana Abul Husain tidak membenarkan jika “adat” mampu mengkhususkan makna dari kemumuman teks-teks wahyu. Lihat- al-Mu’tamad, jilid 1, hal. 193 dan 278-279

[33] Abdul Wahab Khalaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, op. cit., hal. 173

[34] Ibnu Sibki dalam Jam’ul Jawami’ menyebutkan bahwa kata perintah memiliki 26 faedah makna, sebagaimana yang diikuti oleh Ibnu Badran al-Hambali. Selanjutnya dirampingkan oleh Shadr al-Syari’ah menjadi 16 faedah makna saja. Lihat- Jamaluddin al-Asnawi, Nihayah al-Suul ma’a Syarah al-Badakhsyi, jilid 2, hal. 342-344, al-Mu’tamad, jilid 1, hal. 51 dan 69, Wahbah Zuhaili; Ushul al-Fiqh al-Islamiy, jilid 1, hal. 216-217

[35] Ali Sami al-Nasyar, op. cit., hal. 30

[36] Yakni pada makna hukum "tiada kewajiban mengeluarkan zakat dari kambing yang bukan peliharaan", dipahami dengan menggunakan kaidah Mafhum Mukhalafah hadits Nabi yang berbunyi : فى الغنم السائمة زكاة (pada kambing yang tidak dipelihara maka wajib dikeluarkan zakatnya). Lihat- Muhammad Baltaji, Manahij al-Tasyri' al-Islamiy fi Qarn al-Tsani al-Hijriy, jilid 2, Dar al-Salam, cet. I, Kairo, 2004, hal. 413, 489, dan 571

[37] Lihat- al-Mu'tamad, jilid 1, hal. 355

[38] Ibid., jilid 1, hal. 356-357

[39] Ibid., jilid 1, hal. 367

[40] Penerjemahan kata "al-Nasakh" ke dalam makna "al-Izalah" secara bahasa merupakan suara mayoritas ahli ushul, dan bahkan pernah dinukil oleh al-Razi. Akan tetapi, untuk membawanya ke dalam makna syariat terdapat pertimbangan lain berkenaan dengan fungsi, bentuk, dan tujuan dari nasakh-mansukh itu sendiri. Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi dua madzhab; pertama, menjadikan nasakh sebagai penghilangan atau peniadaan suatu hukum ( رفع الحكم او زوال الحكم ) , pendefinisian ini dikeluarkan oleh al-Baqilani, al-Shairafi, al-Ghazali dan Abul Husain. Kedua, menjadikan nasakh sebagai penjelasan atas selesainya fungsi dari suatu hukum ( بيان لأنتهاء أمد الحكم ) , pendefinisian ini dikeluarkan oleh mayoritas Syafi’iyyah seperti al-Asfarayini, al-Razi, dan al-Baidlawi. Baca- Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfa, hal.86-87, Muhammad ibn Hasan al-Badakhsyi, Manahij al-'Uqul, jilid 2, hal. 498, dan Ali Jum'ah, al-Nasakh 'inda al-Ushuliyyin, hal. 12        

[41] Lihat- al-Mu'tamad, jilid 1, hal. 365

[42] Ibid., jilid 1, hal. 384

[43] Ibid., jilid 1, hal. 368-369

[44] Ibid., jilid 1, hal. 386

[45] Ibid., jilid 1, hal. 390

[46] Ibid., jilid 1, hal. 397-398

[47]Ibid., jilid 1, hal. 399

[48] Ibid., jilid 1, hal. 400

[49] Ibid., jilid 1, hal. 402

[50] Lihat- al-Mu’tamad, jilid 2, hal. 3

[51] Ibid., jilid 2, hal. 24-25

[52] Baca lebih jelas- Nihayah al-Suul ma’a Syarah al-Badakhsyi, jilid 2, hal. 609, dan merupakan definisi terpilih menurut Syekh Ali Jum’ah, al-Ijma’ ‘inda al-Ushuliyyin, Dar alRisalah, cet. I, Kairo, 2002, hal. 11

[53] Lihat- al-Mu’tamad, jilid 2, hal. 23

[54] Ibid., jilid 2, hal. 84

[55] Abul Husain al-Bashri dalam masalah Ijma’ Sukuti tidak menyebutkan pernyataan yang jelas, namun di sini penulis hanya dapat mengambil kesimpulan dengan tendensi bahwa mayoritas ulama Mu’tazilah, seperti; Abu Ali al-Jubba’i dan Abu Hasyim ibn Ali, keduanya sama-sama mengakui sebagai hujjah hukum. Adapun dari jumhur Hanafiyah dan madzhab Ahmad mengakui Ijma’ Sukuti sebagai hujjah apabila memenuhi lima syarat, sbb.:

  1. Jika diam tersebut dilakukan secara spontan oleh seorang mujtahid, baik atas suatu keridlaan atau penolakan.
  2. Jika putusan hukum Ijma’ Sukuti tersebut sudah terpublikasikan, bahkan di setiap masa.
  3. Jika ada selang waktu yang memungkinkan seorang mujtahid berpikir dan menelaah hukumnya.
  4. d.      Jika masalah tersebut bukanlah masalah-masalah ijtihadiyyah.
  5. Tiada halangan apapun bagi seorang mujtahid untuk mengungkapkan pandangannya itu, tetappi jika terdapat halangan dan hal ini yang menyebabkan seorang mujtahid diam, misalnya ada unsur ketakutan terhadap penguasa dhalim, maka statusnya sebagai hujjah dianggap gugur.

Sementara menurut imam al-Syafi’i, Isa ibn Abad, al-Baqilani, dan jumhur Malikiyah sama sekali tidak menjadikan Ijma’ Sukuti sebagai hujjah hukum. Lihat- Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamiy, jilid 1, Dar al-Fikr, cet. III, Damaskus, 2005, hal. 526-527

[56] Lihat- al-Mu’tamad, jilid 2, hal. 36

[57] Ibid., jilid 2, hal. 33

[58] Ibid., jilid 2, hal. 35-36

[59] Ibid., jilid 2, hal. 34

[60] Lihat- Nihayah al-Suul ma’a Syarah al-Badakhsyi, jilid 2, hal. 626

[61] Ibid., jilid 2, hal. 630

[62] Imam Badruddin al-Zarkasyi menuliskan:

وشرط استاذ أبى منصور والكيا والعزالى وغيرهم العدالة بالنسبة الى جواز الاعتماد هلى قوله , قالوا : واما فى نفسه اذا كان عالما فله ان يجتهد لنفسه , فالعدالة شرط لقبول القتوى , لا لصحة الاجتهاد ...... قال ابن السمعانى : لكن يشترط كونه ثقة مأمونا غير متساهل فى امر الدين . قال : وما ذكره الاصحاب من عدم اشتراط العدالة مرادهم به ما وراء هذا . أ. ه.  ( البحر المحيط : 8 / 236 , ونقله الشيخ علىّ جمعة فى احدى رسالته عن الاجماع عند الاصوليين , ص 34)

[63] seperti hukum untuk menentukan suatu arah masih butuh bukti-bukti lain sebagai penunjang yang bersifat empirik untuk mendapatkan kepastian ilmiah, berupa informasi atau yang lainnya.

[64] Lihat- al-Mu'tamad, jilid 2, hal. 190

[65] Definisi Qiyas Syar'iy, lihat- al-Mu'tamad, jilid 2, hal. 195

[66] Bahkan Abul Husain secara lantang menuliskan pada sub judulnya dengan kalimat "Ana Muta'abbidun bi al-Qiyas" (Saya Wajib Mengamalkan Qiyas).

[67] Jamaluddin al-Asnawi, Nihayah al-Suul ma'a Syarah al-Badakhsyi, jilid 3, hal. 666,

[68] Qiyas al-Thard ( قياس الطرد ) ialah mengkomparasikan sifat hukum yang benar-benar ada, bukan pada sifat hukum yang tidak ada. Model inilah yang termasuk dalam katagori Qiyas pada madrasah Mutakallimin yang berbeda dengan model Qiyas dari madrasah Fuqaha’ yang disebut Qiyas al-‘Aks jika hanya mengamati ‘Illah pada salah satu di antara hukum asal atau hukum cabang. Pada makna sesungguhnya Qiyas al-Aks yaitu: ( اثبات نقيض حكم الاصل فى الفرع باغتبار غلة ) yang pada prakteknya seringkali bisa tidak ada atau kurang sempurna untuk memperhatikan keberadaan ‘Illah/sifat hukum itu . Seperti dikatakan bahwa puasa merupakan syarat i’tikaf, maka apakah seseorang yang bernadzar untuk i’tikaf saja harus menjalankan puasa juga? Maka Qiyas dalam bentuk ini ialah batal dan perlu diklarifikasi kembali. Lihat- Tambahan kitab al-Mu’tamad, jilid 2, hal. 443   

[69] Ibid., jilid 2, hal. 444

[70] Lihat pada tambahan kitab al-Mu’tamad; jilid 2, hal. 445

[71] Ibid., jilid 2, hal. 447

[72]Badruddin al-Zarkasyi menyebutkan asal penggunaan istilah Tanqih al-Manath yaitu:

التنقيح فى اللغة التهذيب والتمييز , واذا قيل كلام منقح اى لا حشو فيه .... , والمناط فى الاصل اسم مكان النوط ( اى التعليق ) من ناطه به اذا علقه عليه وربط به , واطلق على العلة , لان الشارع ناط الحكم بها وعلقه عليها . ( البحر المحيط : 5 / 236 )

Ibnu Sibki menyebutkan bahwa Tanqih al-Manath adalah:

ان يدل نص الظاهر على التعليل بوصف , فيحذف خصوصه عن الاعتبار , ويناط الحكم بالاعم , او تكون اوصافه فى محل الحكم , فيحذف بعضها عن الاعتبار بالاجتهاد ويناط الحكم بالباقى , وحاصله الاجتهاد فى الحذف والتعيين . ( الجلال المحلى على جمع الجوامع )

Seperti halnya al-Razi dan al-Baidlawi menyebutkan bahwa Tanqih al-Manath adalah:  ( الحاق الفرع بالاصل بالغاء الفارق )  . Sementara menurut Hanafiyah metode ini dimasukkan dalam katagori al-Istidlal, sebab mereka melihat cakupannya yang lebih meluas dari pada ( قياس بالغاء الغارق ) . baca lebih jauh- Prof. Dr. Ali Sami al-Nasyar, Manahij al-Bahts ‘inda Mufakkiriy al-Islam, Dar al-Salam, cet. I, Kairo, 2008, hal. 99-100

[73] Ali Sami al-Nasyar, op. cit., hal. 98

[74] Pandangan al-Syafi'i tentang Istidlal tersirat pada pernyataannya mengenai persamaan antara ijtihad dan Qiyas, lihat- al-Risalah (no. 1323-1326), korektor; Ahmad Muhammad Syakir, Dar al-Turats, cet. II, Kairo, 1979, hal. 477

[75] As'ad Abdul Ghani Sayyed al-Kafrawi, al-Istidlal 'inda al-Ushuliyyin, Dar al-Salam, cet. II, Kairo, 2005, hal. 52

[76] Lihat- al-Mu'tamad, jilid 2, hal. 266 dan Dr. Abdul Ghani Sayyed al-Kafrawi, op. cit., hal. 75

[77] Adapun hal yang melatar-belakangi kedua tokoh ini memiliki pandangan yang sama ialah bahwa keduanya memiliki silsilah keilmuan yang sama. Abu Bakar al-Jashosh adalah murid langsung dari Abul Hasan al-Kurkhi, sedangkan al-Qadli Abdul Jabbar adalah murid dari Abu Abdullah al-Bashri (369 H.) yang juga termasuk murid dari Abul Hasan al-Kurkhi.

[78] Abdul Ghani Sayyed al-Kafrawi, op. cit., hal. 79

[79] Lihat- al-Mu'tamad, jilid 2, hal. 266

[80]Lihat- al-Mu'tamad, jilid 2, hal. 266-267 dan Abdul Ghani Sayyed al-Kafrawi, op. cit., hal. 80-88

[81]Abdul Mu'min al-Baghdadi dalam Qawa'id al-Ushul wa Ma'aqid al-Fushul (hal. 113-114) mendefinisikan Istidlal sebagai : ترتيب امور معلومة يلزم من تسليمها تسليم المطلوب  Searah dengan itu  adalah definisi Abu Walid al-Baji dalam Ihkam al-Fushul fi Ahkam al-Ushul (juz 1/ hal. 47), ia menuliskan : الفكر فى حال المنظور فيه طلبا للعلم بما هو نظر فيه , او لغلبة الظن ان كان مما طريقه الظن

Muslim Yang Saling Membunuh

Dari Abu Bakrah (Nufa'i) Bin Al Harits Ats Tsaqafy Berkata: Rasulullah Saw Bersabda, "Apabila Dua Orang Muslim Berhadapan Dengan Pedang Masing-masing Maka Pembunuh Dan Terbunuh Keduanya Sama-sama Masuk Neraka. Abu Bakrah Bertanya, "Ya Rasulullah, Yang Membunuh Jelas Masuk Neraka Tetapi Mengapa Yang Terbunuh Juga Demikian? Rasulullah Saw Menjawab, "Karena Ia Juga Memiliki Niat Sungguh-sungguh Akan Membunuh Lawannya."

TOP