NAGA DI SERAMBI MASJID CIAMIS

Oleh: Dr. Sumadi

Penekun Masalah Kenegaraan dan Kegamaan, Dosen IAID Darussalam Ciamis.

 

Naga di serambi masjid di Ciamis merupakan simbol keharmonisan umat beragama di Kabupaten Ciamis yang ditandai Kelenteng Hok Tek Bio yang simbol utamanya naga dan Mesjid Mujahidin yang letaknya berdampingan di pusat kabupaten Ciamis. Kelenteng Hok Tek Bio sebagai pusat kebudayaan masyarakat Tionghoa sekaligus juga fasilitas ibadah telah hidup berdampingan dengan umat Islam sejak jaman pra kemerdekaan.

Oleh karena itu jejak kerukunan atau toleransi antar umat beragama di Kabupaten Ciamis, sesungguhnya bukan hanya potret kerukunan di Dusun Susuru Desa Kertajaya Ciamis, yang saat ini telah mendapat overload perhatian. Secara umum sesungguhnya umat beragama di Kabupaten Ciamis sangat menghargai kerukunan dan kerberagaman. Di pusat kota Ciamis terdapat Segi Tiga Emas Kerukunan antar umat beragama. Yaitu masyarakat Muslim, Khonghucu, dan Katolik hidup berdampingan secara damai dan bersama. Segi tiga emas kerukunan tersebut ditandai dengan tiga fasilitas dan rumah Ibadah yaitu Mesjid Al-Mujahidin, Kelenteng Hok Tek Bio (beserta Majelis Agama Khonghucu Indonesia/MAKIN), dan Gereja Katolik St. Yohanes.  

Masyarakat Muslim, Khonghucu, dan Katolik di Ciamis telah menujukkan interaksi sosial yang menjunjung kebersamaan dan keharmonisan. Dalam perjalanan membingkai kerukunan dan kehidupan yang harmonis, tetap saja diuji oleh beragam peristiwa yang hampir menganggu kerukunan. Misalnya saat Kelenteng Hok Tek Bio dan masyarakat Tionghoa pada tahun 2011 merencanakan membangun gedung serbaguna di samping Kelenteng Hok Tek Bio dan berdampingan dengan Mesjid Al-Mujahidin sebagai bagian fasilitas bersama masyarakat. Terjadinya perbedaan pendapat antara umat Islam dan pihak panitia pembangunan gedung serba guna. Penolakan pembangunan gedung serba guna Kelenteng Hok Tek Bio sempat membuat kegaduhan antar dan inter umat beragama di Kabupaten Ciamis. Oleh karena itu untuk menghindari konflik, pembangunan gedung serba guna sempat ditunda hampir setahun. Dialog dan musyawarah antara masyarakat dan tokoh umat beragama menghasilkan pemahaman bersama pentingnya saling menghargai dan menjaga umat beragama. Masyarakat muslim yang selalu memberi penghargaan atas keragaman dan melindungi kaum minoritas dengan difasilitasi tokoh-tokoh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), MUI, tokoh-tokoh pesantren, dan ormas Islam Ciamis seperti PUI, NU, FPI, dan lain-lain memberi jaminan keberlanjutan pembangunan gedung serba guna. Gedung serbaguna Kelenteng Hok Tek Bio saat ini telah selesai berdiri kokoh berdampingan dengan masjid Mujahidin. Bahkan umat Islam yang paling dulu menggunakannya. Pasangan Puji dan Wawan pada tanggal 14 Juni 2015 keduanya adalah umat Islam melangsungkan akad pernikahan di Masjid Al-Mujahidin,  dan kemudian melaksanakan pesta walimahtul’arus di Aula Serbaguna milik warga Kelenteng Hok Tek Bio.

Begitu juga sempat terjadi silang pendapat tentang perayaan tahun baru Imlek yang akan dirayakan di bulan Februari tahun 2016. Terjadi perbedaan pendapat antara pihak Majelis Agama Khonghucu (Makin) Ciamis dan Gereja Katolik St. Yohanes Ciamis. Pihak Majelis Agama Khonghucu memandang bahwa perayaan Imlek sebagai bagian dari ritual agama Khonghucu tidak layak dirayakan bernuansa keagamaan oleh umat Katolik sekalipun warga Tionghoa. Dengan musyawarah yang cepat dan kedewasaan umat beragama yang difasilitasi oleh umat Islam yang tergabung di FKUB Ciamis perbedaan pendapat dapat dipahami dalam naungan pentingnya kebersamaan dalam bermasyarakat dan beragama, sehingga konflik dapat dihindarkan.

Visi keragaman yang dibangun oleh masyarakat beragama Kabupaten Ciamis mendasarkan pada nilai-nilai semua agama yang menempatkan keragaman sebagai fitrah agama. Dalam pandangan masyarakat beragama, bahwa keragaman adalah keniscayaan dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat. Kerukunan dan keragaman antar umat beragama tertata dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Seperti dalam kegiatan budaya, bisnis, dan sosial  merupakan kegiatan yang terbiasa tidak membeda-bedakan suku, ras, dan agama apapun. Oleh karena setiap ada perayaan Cap Gomeh yang ditandai dengan pawai budaya seperti Baronsay dan jenis budaya lain umat Khonghucu, jangan heran hampir 99 persen yang hadir, berjejer di pinggir jalan, dan menikmati budaya adalah umat Islam.

Dalam kerangka ini (David, 1972) bahwa kebersamaan dan keragaman yang merupakan terwujud dalam kerukunan umat di Ciamis karena beberapa variabel: pertama, terjadinya integrasi secara normatif. Artinya budaya, syari’ah dan pemahmanan agama dapat membetuk tradisi yang baku untuk mewujudkan kerukunan. Nilai-nilai yang disepakati berdasarkan perpaduan budaya dan penafsiran syari’ah dan agama dapat mengikatkan diri anggota masyarakat dalam kebersamaan. Kedua, terjadinya integrasi komunikatip. Kerukunan terjadi karena komunikasi yang efektif yang dibangun oleh agen resolusi konflik yang dominan yaitu umat beragama di Kabupaten Ciamis. Serangkaian proses komunikasi yang dibangun oleh masyarakat beragama dalam membangun toleransi dari mulai perang diskursus sampai dengan dialog formal dan informal menjadikan pemahaman bersama bahwa kehidupan menghargai keragaman adalah tujuan hidup bermasyarakat. Ketiga, terjadinya integrasi secara fungsional. Resolusi konflik dapat diwujudkan karena semua pihak dari mulai masyarakat, pemuka-pemuka agama, kiai, tokoh-tokoh agama di FKUB, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis memiliki kesadaran akan fungsi dan perannya dalam menjaga kerukunan umat.

Pemahaman syari’at dan nilai-nilai agama yang menempatkan penghargaan keragaman dari masyarakat Islam yang tergabung di FKUB, MUI, Pesantren, dan Ormas Islam bersamaan dengan pemahaman budaya yang baik dari warga masyarakat. Nilai-nilai budaya dalam konteks Ciamis, budaya Sunda dalam bermasyarakat menjadi piranti yang menghargai keragaman. Hal tersebut ditunjukkan bahwa masyarakat memegang teguh nilai-nilai kerukunan yang dibangun melalui budaya “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling memelihara antar warga. Budaya Sunda sangat menjunjung tinggi nilai kerukunan misalnya dapat dilihat dari filofosi kehidupan masyarakat Sunda dalam kalimat-kalimat berikut ini: Pertama, Kawas gula eujeung peueut yang artinya manusia harus hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih, satu sama lain harus saling menguatkan.  Kedua, Mulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya. Dalam hubungan sosial setiap manusia harus mempertibangkan nilai guna dan manfaat. Relasi sosial dibangun dalam kerangka saling melengkapi (mutualisme simbolik). Ketiga, Mulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keresahan yang mengakibatkan perpecahan dan penyebaran konflik. Setiap konflik segera dilokalisir dengan resolusi yang menghargai keragaman. Perpaduan kekuatan kesadaran keragaman warga yang menjamin pluralisme kewargaan dengan kualitas inklusivitas terjaga dan nilai-nilai budaya lokal damai menjadi kekuatan yang meruntuhkan dominasi nilai dan gerakan intoleransi yang dilakukan oleh oleh pihak manapun.

Tentu masih banyak naga atau simbol budaya agama yang lain yang berdampingan dengan berbagai agama. Tahun baru apapun hitungannya selalu penuh harapan agar tahun depan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Selamat merayakan tahun baru Imlek 2567, Gong xi fa cai bagi warga Tionghoa semoga damai, sejahtera, dan bahagia menjadi kebersamaan masyarakat.

 

 
 

KOMENTAR

Hebatnya Shalat 5 Waktu

Dari Abu Hurairah R.a. Berkata: Saya Telah Mendengar Rasulullah Saw Bersabda, Bagaimanakah Pendapatmu Seumpama Ada Sebuah Sungai Di Muka Pintu Salah Seorang Dari Kamu, Lalu Ia Mandi Daripadanya Setiap Hari Lima Kali, Apakah Masih Ada Tertinggal Kotorannya?" Para Sahabat Menjawab, "Tidak." Nabi Saw Bersabda, "Maka Demikianlah Shalat Lima Waktu, Allah Akan Menghapuskan Dosa-dosa Dengannya."

TOP